Desa Pediwang

Day 2
27 Mei 2016

Suasana di sekitar bandara Kuabang sangat sunyi dan sepi. Sekeliling bandara hanya terdapat ilalang. Kami dijemput oleh Om Donny. Di sebelah kanan jalan menuju kota Tobelo terlihat pantai. Aroma laut tercium dari kejauhan.
Tempat saya akan melakukan CP 1 adalah GMIH Lahairoi yang berada di tepi jalan. Kami pun berhenti di tepi jalan ketika mobil melintasi gedung gereja. Akhirnya, saya pun diturunkan di gereja tersebut sementara mobil Om Donny beserta dengan Helda dan Alfa melanjutkan perjalanan ke kota Tobelo, tepatnya ke kantor sinode GMIH.
GMIH Lahairoi Pediwang
Jantung saya mulai berdegup kencang. Ketika berpisah dengan teman-teman, ketika itu pula saya seperti disadarkan bahwa saya telah berada di awal perjalanan dan petualangan saya di Kao ini, sendirian.
“Kamu boleh meletakkan koper di sini.” Ujar Bu Pendeta yang memiliki nama Anita Saya-Leaua. Saya menyeret koper saya ke dalam kamar yang dimaksud oleh Bu Anita.
“Setelah ini ada pemakaman di laut. Kalau adik mau ikut boleh.”
‘Pemakaman di laut? Boleh juga tuh!’ dalam benakku aku membayangkan sebuah tradisi pemakaman yang menguburkan mayat di laut lepas.
Segera setelah meletakkan koper, kubuka koper itu dan kuambil pakaian yang ada lalu menuju kamar mandi. Bersiap-siap menuju pemakaman bahkan sebelum aku sempat beristirahat.
Ternyata aku salah paham! Aku mengira bahwa pemakaman diadakan di atas laut. Ternyata yang dimaksud dengan ‘di laut’ berarti dekat dengan laut karena laut kira-kira hanya berjarak dua puluh meter dari rumah duka. Tenda dipasang di halaman rumah duka. Telah banyak jemaat yang hadir. Keluarga yang berduka duduk di dalam ruang tamu rumah.
Aku melihat beberapa orang maju dan memasukkan uang persembahan sebelum ibadah dimulai. Akhirnya aku pun mengikuti orang-orang tersebut dengan memasukkan pula uang persembahanku. Beberapa orang memperhatikanku, sang orang asing. Sementara ada teman-teman yang belum berangkat dari Jakarta, aku sudah hadir di tengah jemaat GMIH Lahairoi.
Read More

A Journey in Pediwang

Day 1
26 Mei 2016

Hanya tinggal beberapa jam menuju keberangkatan ke Manado. Saya masih bersiap-siap, bahkan masih mencari beberapa perlengkapan yang saya rasa saya butuhkan di sana nantinya.
‘Ugh, berat sekali.’ Saya bergumam ketika berusaha menyeret keluar koper yang akan saya bawa. ‘Ini sih sudah lebih dari 15 kilo.
Ada sedikit rasa khawatir timbul dalam hati saya karena load yang disediakan oleh Wings Air, yang akan saya dan dua orang teman lainnya tumpangi dari Manado menuju Kuabang, hanya 10 kilogram saja. Tentu untuk bagasi yang overload akan dikenakan sanksi. Dan itu berarti uang saya yang terbatas akan semakin dipangkas.
Ketika saya sedang mencari taksi online menuju Stasiun Gambir, hujan turun. Saya merasa  begitu kesal. Selain karena tarif taksi akan naik drastis, barang-barang saya juga bisa basah. Saya membutuhkan kira-kira lima belas menit hingga taksi tersebut menjemput saya ke kos.
Badan saya sudah gemetar karena saya belum makan nasi dari pagi hari. Timbul dalam benak saya untuk mampir di warung makan yang ada di stasiun nantinya. Akan tetapi, melihat perjalanan menuju stasiun yang begitu macet, saya mengurungkan niat saya tersebut. Saya sangat takut tidak dapat mengejar waktu menuju bandara. Ketika saya tiba di shelter Damri yang ada di stasiun, sebuah Damri baru saja berangkat menuju bandara.
‘Berarti saya harus menunggu lagi.’
Saya membayarkan ongkos taksi dan menyeret koper saya sebisa mungkin ke dalam bagasi Damri.
“Terminal berapa?” tanya petugas Damri.
“Saya tidak tahu.”
“Maskapai apa?”
“Garuda?”
“Di Terminal 2F ya.”

Saya mengangguk-angguk saja. “Sudah mau berangkat belum, Pak? Saya mau ke dalam dulu sebentar.”
“Belum mau berangkat. Silakan saja. Jangan lama-lama.”
Dengan setengah berlari saya masuk ke stasiun dan mencari warung makan. Sebentar saja saya sudah kembali ke shelter Damri.
“Di dalam boleh makan nggak, Pak?” tanya saya lagi kepada petugas.
“Boleh saja.”
Saya menghabiskan makan siang di dalam bus sambil berharap tidak terlambat tiba di bandara. Ini adalah pertama kalinya saya terbang menggunakan maskapai Garuda Airlines. Sungguh saya berterima kasih kepada GKI Kayu Putih yang telah mengasuh saya dua semester belakangan ini. GKI Kayu Putih pula yang membiayai tiket saya ke Tobelo.
Saya terbangun dari tidur saya ketika bus sudah memasuki wilayah bandara Soekarno-Hatta. Ternyata terminal 2F masih cukup jauh dari terminal 1A/B/C. Selama ini saya hanya berlalu lalang di terminal 1. Saya masuk ke dalam terminal 2F dengan menyeret koper yang ternyata sangat berat. Saya mencari sosok Alfa, kakak kelas dari angkatan 2012 dan Helda, teman sekelas saya, yang juga akan melakukan Collegium Pastorale di Halmahera Utara.

Read More

Senja yang meremang dalam labirin...

Senja dalam labirin...

Kuinjakkan langkah pertamaku di bumi
Langkah-langkah selanjutnya masih terasa ringan
Namun, beban seperti menyusupi pundakku
membuatnya terasa berat, berat sekali
Setiap tapakku mewakili peristiwa hidupku
Segala perbuatan-Mu yang ajaib, Engkau,
yang menjadikan langit dan bumi
Memoriku melayang, mengingat segala pemeliharaan-Mu
Oh, betapa aku mencintai-Mu, Allah
yang nyata di dalam Anak-Mu

Read More

Allah Seorang Pelupa



Kosuke Koyama, teolog Asia yang terkenal itu, mengatakan dalam bukunya,
to forgive is to forget. Mengampuni berarti melupakan. Sering kali kita mendengar,
I forgive, but I never forget. Bagi Koyama, mengampuni tetapi tidak melupakan itu bukan
mengampuni.
Read More

Gereja mencari jawab atau malah perlu dipertanyakan?

Ibadah di salah satu gereja besar di Jakarta



Sebut saja, Gereja A, sebuah gereja tradisional, gereja besar. Akan tetapi, akarnya semakin tua dan mungkin memerlukan pencangkokan ulang, atau apapun yang membuatnya ‘muda’ kembali.
Gereja B, gereja lokal yang sedang bertumbuh. Akarnya sedang menancap di hati anak-anak muda ibukota, bahkan mungkin di hati siapa saja yang menginjakkan kaki di sana dan kembali lagi karena ia rindu.

Read More