Sementara Mengenang: Catatan Samping Proyek Karyatama



Aku tahu tak seharusnya aku menuliskan hal ini saat aku memiliki beberapa tugas lain yang harus kukerjakan. Akan tetapi, otakku meneriakkan kalimat demi kalimat yang memendam perasaan dan membuat emosiku berkecamuk. Maka, lebih baik aku mengeluarkannya dan mencoba menyusun kata demi kata.

Cerita ini tentang sebuah perjuangan. Cerita ini tidak indah, penuh sakit dan kerapuhan. Cerita ini tentang menjadi kuat.

-

Ia dimulai pada kegalauanku menjelang berakhirnya semester tujuh di kampus gumul juang, Jakarta Theological Seminary (JTS). Aku tak memiliki keahlian apa-apa. Ini sulitnya menjadi serba mediocre. Menyanyi: rata-rata. Menari: rata-rata. Akademik: umm, aku ingin sesuatu yang dapat kukenang. Maka kutanya pada diriku, apa yang benar-benar kusenangi sejak dahulu kala? Menulis!

Lalu, menulis apa?

Pertanyaan sulit lainnya. Ini pun masih menjadi misteri. Memang telah kuputuskan untuk mengambil laboratorium Kak Septemmy, Estetika Teologis-Feminis, Trauma, dan Pemulihan di semester mendatang. Seterusnya, mari kita selesaikan dengan intuisi!

Ketika staf akademik mengadakan pertemuan terkait dengan proses penulisan karyatama ini, aku mengutarakan maksudku untuk menulis novel. Kalimat Bp. Stephen Suleeman begitu menguatkanku dan meneguhkanku untuk menulis novel sebagai proyek karyatama. Satu keputusan kuambil hari itu.


Semua dimulai dengan menuliskan rencana proyek akhir kami: tema, bentuk, landasan teoritis, dan konstruksi teologis. Waktu demi waktu kuhabiskan untuk mencari referensi yang akan kugunakan. Malam demi malam kuhabiskan di McDonald's, Dunkin Donuts, tetapi terutama Starbucks Hayam Wuruk.


Niatnya ke Bandung buat refreshing, toh tetap aja bawa laptop

Tunggu dulu! Sebelum kalian semua menghakimi atau nyinyirin aku, si Kapitalis, sadarlah teman-teman, aku tak punya pilihan! Aku tahu kalau kalian bisa relate bagaimana rasanya mengerjakan tugas di kamar. Godaan terberat ada di sana: kasur! Otakku bisa 'on' sampai pagi dan aku bisa bekerja semaksimal mungkin, ya di Starbucks Hayam Wuruk itu.

Berusaha tegar! Hidup lebih berat dari rindunya Dilan!
Sebisa mungkin aku mengatur keuanganku. Dari pagi hingga sore hari aku menghindari makan sehingga uangku tidak keluar. Aku mengisi perutku dengan nasi karena malamnya aku wajib dan kudu ngopi. Thank be to God karena telah menciptakan kopi di dunia ini (terharu).



Di bulan Maret, waktuku sebagian besar tersita untuk membaca buku-buku. Jika hari Senin hingga Kamis, aku masih harus mengerjakan tugas-tugas mata kuliah lain, maka Sabtu dan Minggu benar-benar kufokuskan untuk membaca. Bayangkan saja, dalam satu hari aku bisa menyelesaikan tiga sampai empat judul buku! Aku bahkan tak menduga aku dapat melakukan hal itu. Dan kalian mungkin pernah mengalami, buku-buku yang justru cocok dengan topik kalian akan muncul belakangan!

Menjelang April, rasanya semua penyakit bergantian menghajarku. Aku bolak-balik ke Puskesmas dan mengonsumsi obat-obatan. Belum lagi aku harus bergumul dengan kesehatan mentalku sendiri. Aku seperti diserang dari segala penjuru. Minggu UTS mengalihkan fokus dari makalah karyatama. Untung saja, libur pra-Paskah jatuh seminggu sebelum batas pengumpulan makalah pendamping karyatama, 9 April 2018.

Aku menemukan terlalu banyak referensi yang bermanfaat untuk makalahku. Saat itu tercatat sekitar >90 judul buku dan artikel. Waktu kembali tersita untuk memutuskan buku yang akan kugunakan. Akhirnya, aku menggunakan sekitar 42 judul dalam makalah pendampingku.

Aku begitu fokus pada makalah pendamping dan sama sekali belum menyentuh karyatama itu sendiri: novel.
Minggu pertama April dipenuhi dengan proses revisi makalah pendamping. Revisi, kirim, revisi, kirim, revisi, kirim. Schoology sudah seperti media sosial yang paling penting dalam hidupku saat itu. 3 April kami harus mengunggah draf karyatama I. Lalu, 7 April kami harus mengunggah draf karyatama II beserta abstrak. Tolong dicatat: kami masih kuliah dengan 12 SKS dengan tugas harian dan mingguan lainnya. Aku sama sekali tak memiliki waktu untuk memikirkan novel. Lagipula, aku benar-benar tak memiliki ide.

Aku menghubungi seniorku, Rappan, dan mengonsultasikan segala proses menuju karyatama. Saat itu aku menanyakan perihal judul. Aku belum menemukan judul yang kurasa cocok. Kami mulai mengolah kata-kata kunci dan merangkai judul dari sana. Kegelapan Allah blablabla. Melankolia blablabla. "Terang Kelam di Balik Sang Melankolia: Sebuah Goresan Imajinatif untuk Depresi dan Trauma."

Jederrrr!!!!

Kepalaku tak dapat menerima judul yang indah itu! Tampaknya otakku begitu terbatas. Lalu yang lain muncul, "Allah (Bukan) Sang Terang."

Belum begitu nampol.

Lalu, entah mengapa aku teringat Yesaya 60: 2, "Sebab sesungguhnya, kegelapan menutupi bumi, dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa; tetapi terang TUHAN terbit atasmu, dan kemuliaan-Nya menjadi nyata atasmu."

Kusampaikan ide yang kusukai tapi tidak membuatku percaya diri itu kepada Rappan. Ia pun menyetujuinya.

"...tetapi kelam TUHAN terbit atasmu": Sebuah Imajinasi Estetika Teologis tentang Trauma dan Melankolia
Tertanda 7 April 2018, aku menyelesaikan makalah pendamping dan hanya perlu mencetaknya saja untuk dikumpulkan ke bagian Akademik pada hari Senin.



Perjuangan belum selesai! Aku baru saja akan memikirkan novelku yang harus dikumpulkan pada tanggal 16 April 2018, hanya satu minggu setelah pengumpulan makalah.

Aku beberkan satu rahasia berbahaya: plot novel benar-benar baru kutulis secara runut pada hari Rabu, 11 April 2018, hanya lima hari sebelum batas pengumpulan. Langkah yang sangat berbahaya!

Bagaimana aku merajut luka tanpa membuat orang mengetahui siapa yang empunya luka yang kupertontonkan? Bagaimana menciptakan sebuah luka yang anonim?
Aku tak tahu. Aku menulis. Bosan lalu berhenti. Lalu menulis lagi. Setiap hari aku dapat menyelesaikan 3-5 bab. Tentu aku membolos tiga pertemuan kuliah. Aku mengunci diri di kamar ketika hari pagi hingga sore. Lalu menjelang tengah malam, karena ini adalah jam kantuk, aku bergerak menuju Starbucks Hayam Wuruk.


Keesokan paginya, aku pulang, tidur sebentar. Bergegas menulis ketika aku bangun. Tujuh hari itu aku menonaktifkan ponselku ketika menulis. Keputusan itu sangat membantuku untuk fokus.
Setiap babnya mengandung luka.
Aku harus pandai menjaga jarak dari tokoh agar aku tidak menyakiti diriku sendiri, tapi tetap menggerakkan perasaan pembaca. Aku merombak seluruh bab pertama yang telah kutulis.

Seharusnya aku bisa menyelesaikan novelku sesuai dengan plot: 17 bab dan epilog. Akan tetapi, hari Minggu malam aku mengalami diare. Aku diberi waktu pengumpulan hingga 17 April. Thanks to you, Kak Temmy!

Hari Senin, 16 April 2018, aku mengalami writer's block. Benar-benar bukan waktu yang tepat. Aku tak dapat memaksakan otakku untuk bekerja. Aku pun tidak dapat tertidur. Pukul 17.00, aku mendapatkan informasi bahwa aku harus menyerahkan novel ke bagian Akademik pukul 07.30 dan bukan 15.00. Aku kembali mengetik hingga hari malam. Aku begitu menghargai setiap detik bahkan aku merasa makan dan menyalakan lampu akan membuang waktuku. Tetangga kamarku hingga mengantarkan makanan karena melihat aku mengetik di dalam gelap dan tak beranjak.

Aku semakin pusing karena uangku tinggal sedikit. Aku tidak dapat keluar pada Senin malam. Aku tidak meminum kopi karena takut diareku semakin parah. Seandainya aku menghabiskan malamku di luar, aku pasti dapat menyelesaikan bab-bab itu.

Aku masih belum memiliki ide bagaimana cerita itu akan berakhir. Aku menghubungi Ruth, sahabatku, untuk menanyakannya ide. Aku meminta bantuannya untuk mendesain sampul. Kukatakan padanya, aku ingin judul berada dalam sebuah sangkar. Lalu, ia mengirimkanku ini:


OH TUHAN! AKU BAHAGIA SEKALI!

Aku begitu bahagia hingga aku terinspirasi untuk menulis bagian epilog. Entah mengapa. Saat itu aku mendengar lagu Hillsong United berjudul So Will I dan mulai mengetik. Jari-jariku bergerak begitu saja. Kata-kata di dalam kepalaku meluap.

Lalu, aku mulai menguap. Aku berusaha sebisa mungkin menghindari kantukku. Aku memutar radio.

Dan. Aku. Tertidur.

Untuk menambah kegilaanku, ponselku mati kehabisan baterai dan berujung pada tidak berbunyinya alarm keesokan harinya. Jam wekerku pun tak menyala karena kehabisan baterai. Coincidence? NO! Jantungku berhenti dan aku masih tetap hidup. Aku terbangun 38 menit sebelum pukul 07.30 dengan tujuh bab tersisa. Orang lain mungkin sudah mati.

Penulis sekelas J.K. Rowling saja tampaknya tidak dapat menyelesaikan tujuh bab walau dalam satu hari.
Teman-temanku bergantian menghubungiku, menanyakan jumlah bab yang tersisa. Aku selalu mengurangi dari kenyataan. Misalnya, saat itu kukatakan tinggal tiga bab lagi, kenyataannya ada tujuh bab. Tujuannya, agar aku tidak panik sendiri.

Aku menyelesaikan satu bab dalam waktu 1,5 jam. Tidak mudah. Ada berbagai teori teologis yang belum kupahami dan harus kubaca terlebih dahulu. Hal itu membuat penulisanku sedikit lambat. Aku sempat merasa ini adalah balasan Tuhan karena aku mencaci-makiNya dalam novelku.

Pikiranku terlalu panik, aku bahkan berhenti berpikir. Aku harus mengerjakan sebisaku hingga pukul tiga sore atau jam tutup kantor. Jaringan internet di ponsel kumatikan. Tanganku mengetik dan bergetar, mengetik dan bergetar.

Seorang teman meneleponku. Aku abaikan dengan sengaja. Lalu, teman-teman lain bergantian meneleponku. Perasaanku tidak enak. Degup jantungku semakin kencang. Aku mengecek grup Whatsapp laboratorium. Kalau Novri tidak submit karyatama sebelum pukul 15.00, maka akan didiskualifikasi. Gagal. Alias Drop Out.

Saat aku membaca pesan itu, jam sudah menunjukkan pukul 15.09.

*take deep breath*

Lalu, Heni meneleponku. Aku meminta tolong padanya untuk menanyakan pada staf Akademik, apakah aku benar-benar gagal? Heni menyerahkan ponsel pada Kak Ester.

"Halo, Novri. Sudah sehat?"

Dan aku menangis.

Aku tak mampu menjawab. "Kak Ester..."

Beliau menanyakan, sudah sejauh mana tulisanku? Kukatakan aku telah selesai. Masih ada tiga bab yang belum. Tetapi, tanpa tiga bab itu, novelku pun memang sudah bisa dikatakan selesai. Mungkin itulah mengapa aku terlebih dahulu menyelesaikan epilog kemarin malam, karena aku akan tertidur setelahnya.

Aku diberi waktu hingga petang - sebelum hari gelap. Aku mandi dan bergegas mencetak novel tersebut. Lalu berangkat menuju kampus.





Aku tak sempat makan sejak Senin pagi. Hanya minum air putih hingga sore tadi. Rasa lapar itu pun tak begitu terasa hingga novelku berada pada tempatnya yang seharusnya.

If You gladly chose surrender, Christ, so will I.
19 April 2018, Instagram story teman-teman dipenuhi oleh  screenshot dan testimoni mereka yang telah membaca novelku. Kesayanganku, Terperangkap, itu diminta oleh sejumlah rekan yang namanya kucatat. 



 
 

Sejak selesai menulis novel, aku tak berani membukanya. Aku bahkan harus menginap di kamar temanku selama seminggu menuju sidang karyatama.

Lalu, hari bersejarah itu tiba, 25 April 2018.






Bulan April adalah bulan spiritualku. Lima hari mengunci diri di dalam kamar itu adalah masa aku paling merasa dekat dengan Dia, Sang Kata, Sang Firman. Mukjizat demi mukjizat terjadi. Proses menemukan judul makalah, judul novel, hingga bagaimana aku menyelesaikan novel itu, proses sidang karyatama yang berjalan lancar. Terpujilah Allah!

It is a process of writing your heart out. It is a process of painting your vulnerability into a lifetime masterpiece. It is a process of turning your wound into beauty. It is a painful way of healing your bleeding wound. Slowly. No rush (Novriana Gloria Hutagalung).
Siapa yang tahu, jika proses empat tahun bergumul dalam dunia teologi justru membawaku kembali kepada passion yang kucintai: menulis! Dahulu aku sempat bergumul untuk mengambil jurusan Sastra dan kini aku menemukannya kembali. Memuncakkan sarjana pada mawar, lilin, dan sastra. Soli Deo Gloria! 💖
Location: Jalan Proklamasi No.27, RT. 11/ RW. 02, Pegangsaan, Menteng, RT.11/RW.2, Pegangsaan, Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10320, Indonesia

0 comments:

Post a Comment