Rumah
besar itu tertutup. Sepertinya yang empunya rumah masih terjaga karena lampu
masih menerangi langit-langit rumahnya. Ia baru saja menutup jendela rumahnya
karena telinganya mendengar ada keributan di luar rumahnya. Keributan itu
bersumber dari sebuah penginapan di seberang rumahnya. Pemilik rumah itu sempat menguping sedikit
dari pembicaraan orang-orang yang sedang bermasalah.
Ada
yang sedang membutuhkan ruang bersalin. Sepertinya kamar penginapan sudah penuh
dan tidak ada lagi tempat yang kosong. Segera sang tuan rumah menutup tirai
jendelanya, tidak mau ikut campur. Ia mendengar suara seorang perempuan
mengaduh dan memohon agar diizinkan masuk ke dalam penginapan itu. Pemilik
rumah itu menutup telinganya. Ia benar-benar tidak ingin berurusan dengan
hal-hal lain untuk saat ini. Tak lama, suara perempuan yang mengaduh itu tak
terdengar lagi. Pemilik rumah merasakan kebingungan. Ia membuka sedikit celah
tirai dan mengintip keluar.
Pintu
penginapan itu tetap tertutup. Mata sang empunya rumah menelusuri bagian luar
rumahnya. Tidak ada apa-apa lagi di luar sana. Kemana perginya mereka?
Sementara
itu di tempat lain, seorang Bapak tengah mengusap peluhnya. Ia sudah cukup
lelah berjalan jauh dari tempat tinggalnya menuju kampung nenek moyangnya, bahkan ketika istrinya tengah hamil tua. Sepertinya kehidupan tidak pernah
berpihak kepadanya. Belum lagi hilang rasa lelah itu, kini ia dan isteri yang
dikasihinya masih harus mencari penginapan. Tanpa ada angin atau badai,
penginapan pun penuh semuanya. Karena pemilik penginapan terakhir yang
didatanginya bersikeras mengatakan bahwa ia tidak mau menerima tamu lagi, sang
bapak memutuskan untuk meninggalkan penginapan tersebut. Namun, ia tidak tega
jika terus memaksa isterinya berjalan mencari penginapan. Lalu matanya tertuju
pada sebuah gubuk kecil yang ternyata adalah kandang domba.
Sang
Bapak membimbing isterinya dan segera membersihkan tempat itu agar sedikit
layak dilihat. Tanpa ada yang membantu, isterinya melahirkan Anak pertama
mereka di kandang domba. Segera setelah Puteranya itu lahir ke dunia, sang
Bunda membalut-Nya dengan kain lampin dan meletakkan-Nya di atas palungan.
Sederhana
sekali.
Bahkan
anak seorang manusia yang paling papa pun masih dilahirkan di rumah. tetapi Dia
yang menciptakan langit dan bumi datang ke dunia di tempat yang mungkin tidak
layak untuk ditinggali. Dia yang empunya Kerajaan Sorga datang ke dunia di
dalam keluarga yang sangat sederhana. Dia yang adalah Raja datang ke dunia
dengan cara yang lebih sederhana dari anak manusia.
Keluarga
baru yang kecil ini memang tidak memiliki apa-apa dan hidup dalam kesederhanaan
namun kehangatan merangkul mereka dengan erat di dalam kandang domba itu.
Euforia
hari Natal telah diwariskan sejak berabad-abad yang lalu. Hari Natal telah
menjadi satu momen yang paling dinanti sepanjang tahun. Euphoria ini dialami
setiap umat Kristen di dunia mulai dari anak-anak hingga orangtua. Malah, dalam
dunia yang semakin tua ini, selebrasi berlebihan sering terjadi. Tanpa kita
sadari, kita sering melihat Natal hanya sekedar perayaan saja. Kita merindukan
Natal bukan karena ketulusan hati kita yang menghayati lahirnya Yesus ke dalam
dunia. Kita merindukan Natal karena kita ingin memamerkan baju baru yang kita
beli. Kita merindukan Natal karena ingin berkumpul bersama keluarga. Kita
merindukan Natal karena kita menyukai carol
yang biasa dikumandangkan setiap bulan Desember. Kita merindukan Natal karena
liburnya hari itu membuat kita bisa berkumpul bersama orang-orang yang kita
kasihi. Kita
merayakan hari Natal sembari melupakan esensi terdalam dari perayaan itu
sendiri.
Kita
tidak mengingat bagaimana kisah Natal yang klasik ini mewariskan pesan bagi
generasi mendatang. Dengan jelas kitab Lukas menggambarkan bagaimana
sederhananya tempat Yesus dibaringkan pertama kalinya di dunia yang fana ini. Adakah dikisahkan sang Raja lahir di tempat yang hangat? Adakah diceritakan
betapa mahalnya kain yang melapisinya untuk pertama kali? Adakah diberitahukan
betapa orang-orang terhormat datang untuk merayakan kelahiran sang Raja?
Tidak.
Malah sebaliknya, yang diceritakan adalah kandang domba, tempat yang tersisa
malam itu, ketika penginapan penuh. Yang disebutkan adalah kain lampin murahan
yang digunakan untuk membalut Tubuh kecil nan rentan itu. Yang datang untuk
menyembah ialah para gembala yang kepada mereka Malaikat Allah telah menampakkan
diri. Yang datang ialah tiga orang dari Timur, orang asing, bukan bagian dari
kaum Israel.
Yang
berperan di dalam kisah Natal menunjukkan keasingan. Bagaimana mungkin seorang
Raja dilahirkan di tempat yang tidak layak dan disembah oleh orang-orang yang
tidak memiliki jabatan tinggi di dalam masyarakat? Tetapi apa yang kita anggap
tidak layak ternyata dipergunakan oleh Allah, bahkan lebih dari yang kita duga.
Yang
Mulia datang dari kesederhanaan. Lantas mengapa kita bermegah dalam kepapaan
kita? Marilah kita merangkul orang-orang sederhana di sekitar kita. Banyak yang
membutuhkan kasih di luar sana. Bahkan mungkin hampir semua orang membutuhkan
kasih.
Mengapa
kita tidak mengajak saudara yang mungkin kurang beruntung untuk turut merayakan
hari kelahiran-Nya bersama-sama? Segala perayaan dan euphoria itu tidak
bermakna apa-apa jika orang lain pun belum turut merasakan sukacita kita,
karena sang Raja pun lahir dalam kesederhanaan yang penuh kehangatan.
0 comments:
Post a Comment