Kesederhanaan yang Merangkul

Happy Christmas Eve :)
Rumah besar itu tertutup. Sepertinya yang empunya rumah masih terjaga karena lampu masih menerangi langit-langit rumahnya. Ia baru saja menutup jendela rumahnya karena telinganya mendengar ada keributan di luar rumahnya. Keributan itu bersumber dari sebuah penginapan di seberang rumahnya.  Pemilik rumah itu sempat menguping sedikit dari pembicaraan orang-orang yang sedang bermasalah.
Ada yang sedang membutuhkan ruang bersalin. Sepertinya kamar penginapan sudah penuh dan tidak ada lagi tempat yang kosong. Segera sang tuan rumah menutup tirai jendelanya, tidak mau ikut campur. Ia mendengar suara seorang perempuan mengaduh dan memohon agar diizinkan masuk ke dalam penginapan itu. Pemilik rumah itu menutup telinganya. Ia benar-benar tidak ingin berurusan dengan hal-hal lain untuk saat ini. Tak lama, suara perempuan yang mengaduh itu tak terdengar lagi. Pemilik rumah merasakan kebingungan. Ia membuka sedikit celah tirai dan mengintip keluar.
Pintu penginapan itu tetap tertutup. Mata sang empunya rumah menelusuri bagian luar rumahnya. Tidak ada apa-apa lagi di luar sana. Kemana perginya mereka?
Sementara itu di tempat lain, seorang Bapak tengah mengusap peluhnya. Ia sudah cukup lelah berjalan jauh dari tempat tinggalnya menuju kampung nenek moyangnya, bahkan ketika istrinya tengah hamil tua. Sepertinya kehidupan tidak pernah berpihak kepadanya. Belum lagi hilang rasa lelah itu, kini ia dan isteri yang dikasihinya masih harus mencari penginapan. Tanpa ada angin atau badai, penginapan pun penuh semuanya. Karena pemilik penginapan terakhir yang didatanginya bersikeras mengatakan bahwa ia tidak mau menerima tamu lagi, sang bapak memutuskan untuk meninggalkan penginapan tersebut. Namun, ia tidak tega jika terus memaksa isterinya berjalan mencari penginapan. Lalu matanya tertuju pada sebuah gubuk kecil yang ternyata adalah kandang domba.
Sang Bapak membimbing isterinya dan segera membersihkan tempat itu agar sedikit layak dilihat. Tanpa ada yang membantu, isterinya melahirkan Anak pertama mereka di kandang domba. Segera setelah Puteranya itu lahir ke dunia, sang Bunda membalut-Nya dengan kain lampin dan meletakkan-Nya di atas palungan.
Sederhana sekali.
Bahkan anak seorang manusia yang paling papa pun masih dilahirkan di rumah. tetapi Dia yang menciptakan langit dan bumi datang ke dunia di tempat yang mungkin tidak layak untuk ditinggali. Dia yang empunya Kerajaan Sorga datang ke dunia di dalam keluarga yang sangat sederhana. Dia yang adalah Raja datang ke dunia dengan cara yang lebih sederhana dari anak manusia.
Keluarga baru yang kecil ini memang tidak memiliki apa-apa dan hidup dalam kesederhanaan namun kehangatan merangkul mereka dengan erat di dalam kandang domba itu.
Euforia hari Natal telah diwariskan sejak berabad-abad yang lalu. Hari Natal telah menjadi satu momen yang paling dinanti sepanjang tahun. Euphoria ini dialami setiap umat Kristen di dunia mulai dari anak-anak hingga orangtua. Malah, dalam dunia yang semakin tua ini, selebrasi berlebihan sering terjadi. Tanpa kita sadari, kita sering melihat Natal hanya sekedar perayaan saja. Kita merindukan Natal bukan karena ketulusan hati kita yang menghayati lahirnya Yesus ke dalam dunia. Kita merindukan Natal karena kita ingin memamerkan baju baru yang kita beli. Kita merindukan Natal karena ingin berkumpul bersama keluarga. Kita merindukan Natal karena kita menyukai carol yang biasa dikumandangkan setiap bulan Desember. Kita merindukan Natal karena liburnya hari itu membuat kita bisa berkumpul bersama orang-orang yang kita kasihi. Kita merayakan hari Natal sembari melupakan esensi terdalam dari perayaan itu sendiri.
Kita tidak mengingat bagaimana kisah Natal yang klasik ini mewariskan pesan bagi generasi mendatang. Dengan jelas kitab Lukas menggambarkan bagaimana sederhananya tempat Yesus dibaringkan pertama kalinya di dunia yang fana ini. Adakah dikisahkan sang Raja lahir di tempat yang hangat? Adakah diceritakan betapa mahalnya kain yang melapisinya untuk pertama kali? Adakah diberitahukan betapa orang-orang terhormat datang untuk merayakan kelahiran sang Raja?
Tidak. Malah sebaliknya, yang diceritakan adalah kandang domba, tempat yang tersisa malam itu, ketika penginapan penuh. Yang disebutkan adalah kain lampin murahan yang digunakan untuk membalut Tubuh kecil nan rentan itu. Yang datang untuk menyembah ialah para gembala yang kepada mereka Malaikat Allah telah menampakkan diri. Yang datang ialah tiga orang dari Timur, orang asing, bukan bagian dari kaum Israel.
Yang berperan di dalam kisah Natal menunjukkan keasingan. Bagaimana mungkin seorang Raja dilahirkan di tempat yang tidak layak dan disembah oleh orang-orang yang tidak memiliki jabatan tinggi di dalam masyarakat? Tetapi apa yang kita anggap tidak layak ternyata dipergunakan oleh Allah, bahkan lebih dari yang kita duga.
Yang Mulia datang dari kesederhanaan. Lantas mengapa kita bermegah dalam kepapaan kita? Marilah kita merangkul orang-orang sederhana di sekitar kita. Banyak yang membutuhkan kasih di luar sana. Bahkan mungkin hampir semua orang membutuhkan kasih.
Mengapa kita tidak mengajak saudara yang mungkin kurang beruntung untuk turut merayakan hari kelahiran-Nya bersama-sama? Segala perayaan dan euphoria itu tidak bermakna apa-apa jika orang lain pun belum turut merasakan sukacita kita, karena sang Raja pun lahir dalam kesederhanaan yang penuh kehangatan.

0 comments:

Post a Comment