Allah Seorang Pelupa



Kosuke Koyama, teolog Asia yang terkenal itu, mengatakan dalam bukunya,
to forgive is to forget. Mengampuni berarti melupakan. Sering kali kita mendengar,
I forgive, but I never forget. Bagi Koyama, mengampuni tetapi tidak melupakan itu bukan
mengampuni.
Mengampuni.
Satu kualitas orang Kristen terbaik yang paling aku benci.
Ketika aku dengan egoku ingin sekali terus membenci seseorang,
namun ajaran Kristiani memintaku dengan paksa untuk mengampuni orang itu.
Mengampuni seakan memberikan sebagian ruang dari dirimu untuk ditempati lagi
oleh orang yang telah menyakitimu.
Bukankah itu sakit?
Rasanya seperti memberikan paksa ruang pengampunan itu dengan hingga ia berdarah, karena sakitnya.
Bagaimana jika ia masih dan terus menyakitiku setelah aku memberikan ruang itu kepadanya?
Rasa-rasanya aku ingin menyimpan diri ini hanya untuk diriku sendiri, tak akan
kuberikan pada orang yang aku benci ini.
Tetapi Kristen tidak begitu!
Allah Trinitas mengajarkanmu untuk selalu memberikan ruang.
Seperti seorang ibu yang memberikan rahimnya untuk ditinggali sang bayi.
Ya, tetapi bukankah ibu merasakan sakit yang luar biasa selama sembilan bulan itu?

Kematian adalah satu dari realitas Allah.
Apakah kebencian juga merupakan realitas dari Sang Realitas Ultima itu?
Aku ingin berteriak dengan kencang, "Ya! Tentu saja!"
Tetapi mungkin tidak akan ada orang yang mau memasrahkan hidupnya pada satu Realitas yang memiliki rasa benci.
Allah semacam apa itu?!

Allah tidak mati rasa!
Seseorang bisa saja jadi membenci sesuatu atau seorang yang lain saking cintanya.
Bukankah Allah 'membenci' dosa?
Berarti kebencian pun adalah salah satu spektrum Allah.

Everybody has a dark side.
Setiap orang memiliki sisi gelap, ucap seorang bijak.
Setiap orang, termasuk aku.
But, no place is too dark.
Allah adalah sumber dari segala realitas termasuk kematian. Bahkan Kristus saja turun ke dunia orang mati.
Tiada tempat yang terlalu gelap bagi rengkuhan cinta-Nya.
Aku rindu dengan Allah yang mencintai sisi-sisi gelapku.
Mataku sakit karena senantiasa berada di tempat yang 'terang'.
Menutup mata seolah-olah sisi gelap itu tidak memiliki ruang dalam diriku.
Menyembunyikannya dari dunia, dari Allah, dari diriku sendiri.
Aku, seorang manusia, seorang perempuan, yang memiliki kebencian,
ego, ketidakrelaan mengampuni. Aku mudah tergoda untuk menyimpan ruang-ruangku
itu bagi diriku sendiri. Menjadikannya ruang-ruang soliter yang tak dapat diisi oleh
apapun. Memiliki kekecewaan, keraguan, ketidakpercayaan, ketakutan kalau ruang yang
aku berikan dengan berdarah-darah itu malah dihancurkan dengan lebih lagi.

Allah seorang pelupa.
Seperti seorang ibu yang tak memerlukan waktu sehari
untuk memaafkan kesalahan anak-anaknya.
Ia lupa begitu saja.
Aku ingin meniru-Nya, melakukan proses mimetic itu.
Aku ingin mengimitasi-Nya.
Aku ingin lupa begitu saja.

0 comments:

Post a Comment