Gereja mencari jawab atau malah perlu dipertanyakan?

Ibadah di salah satu gereja besar di Jakarta



Sebut saja, Gereja A, sebuah gereja tradisional, gereja besar. Akan tetapi, akarnya semakin tua dan mungkin memerlukan pencangkokan ulang, atau apapun yang membuatnya ‘muda’ kembali.
Gereja B, gereja lokal yang sedang bertumbuh. Akarnya sedang menancap di hati anak-anak muda ibukota, bahkan mungkin di hati siapa saja yang menginjakkan kaki di sana dan kembali lagi karena ia rindu.


Banyak orang bertanya-tanya,
“apakah yang telah diperbuat oleh Gereja B sehingga ia mampu berkarya dan begitu memikat hati ribuan umat setiap minggunya?”

Dalam kebesarannya Gereja A membusungkan dada, bangga karena pencapaian yang berhasil dilakukannya. ‘Penginjilan’ telah mencapai seluruh dunia - seperti yang diamanatkan oleh Yesus.

“Misi Allah telah terpenuhi! Mari kita jalankan misi kita! Saat ini adalah giliran kita!”
Lantas, Gereja A memusingkan diri, bertanya-tanya, “mengapa semakin banyak orang meninggalkanku?”
“Mengapa beberapa gereja semakin sepi dan gereja sealiran Gereja B semakin ramai dari minggu ke minggu?”

Pity on you.
Saya, sebagai jemaat, mahasiswa teologi, sekaligus pemuda/i. Keadaan saya dengan multi-identitas ini menjadikan pengalaman mencari yang sejati semakin kompleks. Seperti anak muda kebanyakan, saya menemukan secercah kesejatian itu dalam Gereja B. Mata saya tak lagi melihat apa aliran Gereja B yang saya datangi itu.
Saya tidak terlalu peduli, toh, saya mendapatkan apa yang hati saya cari, apa yang hati saya rindukan.
Apakah makna panggilanmu gereja? Umatmu dilanda haus dan lapar. Panen tak lagi menghasilkan. Uang semakin langka, meski pada saat yang sama, bertebaran di mana-mana. Apakah arti panggilanmu, Gereja?

Gereja membangun gedung-gedung serbaguna. Gereja membangun sekolah. Sekarang, gereja membangun studio rekaman?! What is really happening?
Gereja membangun dirinya sendiri, begitu egoisnya. Tanpa malu mendatangi gereja-gereja besar dan ‘gemuk’, mencari ‘bantuan’ demi membangun ketinggian hati sekelompok orang. Menyeret umat ke dalam dosa yang bahkan tak mereka sadari: membantu keegoisan tersebut mengakar semakin dalam dan bertumbuh semakin tinggi.

Suara-suara jernih tak terdengar, ditenggelamkan suara penguasa yang bebal dan merasa benar sendiri. Umat hanya bisa terpelongo sambil berpikir: apakah yang benar-benar sedang terjadi dalam gereja ini?
Gereja seperti tak berguna lagi. Jika tak berguna, untuk apa ada? Lebih baik jika gereja tiada sama sekali. Benarkah begitu? Toh gereja tak lagi mampu menjadi pembimbing. Gereja malah menjadi penyesat yang berkostum ‘putih’.
Kedoknya, begitu memuakkan. Gereja pelosok membutuhkan pengetahuan, katanya, tetapi mereka membangun fasilitas yang begitu jauh dari umat yang membutuhkan fasilitas itu.


Illogical. Shame on you, Church. Really.

0 comments:

Post a Comment