Bumi Bukan Tempat Singgah



Teologi lingkungan atau yang juga dikenal sebagai ekoteologi sering berbicara bahwa kita harus menyelamatkan alam karena alam memiliki nilai tersendiri di dalam keluarga Allah. Apa yang kita maksud dengan nilai? Semakin banyak saya membaca tentang ekoteologi, semakin saya menyadari bahwa ekoteologi yang didiskusikan dalam dunia teologi terlalu abstrak. Kita meromantisir masalah degradasi alam melalui kehidupan religius yang puitis. Tampaknya ekoteologi hanya terdiri dari konsep ideal tentang bagaimana kita seharusnya tidak mengeksploitasi alam. Saya ragu bahwa ide-ide ini bahkan memberikan pertimbangan yang cukup untuk korporasi untuk lebih memedulikan lingkungan. 

Kita tidak dapat menyalahkan Alkitab karena tidak berbicara secara pasti tentang krisis ekologis. Penulis-penulis Alkitab akhirnya mungkin lebih peduli tentang hubungan Tuhan dengan umat manusia atau kelompok dalam manusia daripada tentang hubungan Tuhan dengan Bumi secara keseluruhan. Ketiadaan fokus kepada lingkungan mungkin terjadi karena tidak ada krisis ekologis ketika Alkitab mulai ditulis ribuan tahun yang lalu. Ada juga kemungkinan kita tidak akan mendiskusikan isi Alkitab dalam dalam konteks krisis ekologis, jika tidak ada krisis ekologis saat ini.

Read More

"Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya..."



Empat tahun yang lalu, tepatnya 25 September 2015, para pemimpin dunia secara resmi mengesahkan Agenda Tujuan Sustainable Development Goals di Markas Besar United Nations, termasuk Indonesia. Mengusung prinsip “No One Left Behind,” tujuan-tujuan ini diharapkan mampu mengubah arah dunia menuju pembangunan berkelanjutan yang berdasar pada hak asasi manusia, baik di bidang sosial, ekonomi, maupun lingkungan hidup.

Sustainable Development Goals memiliki 17 tujuan, yakni (1) tanpa kemiskinan; (2) tanpa kelaparan; (3) kehidupan sehat dan sejahtera; (4) pendidikan berkualitas; (5) kesetaraan gender; (6) air bersih dan sanitasi yang layak; (7) energi bersih dan terjangkau; (8) pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; (9) industri, inovasi, dan infrastruktur; (10) berkurangnya kesenjangan; (11) kota dan pemukiman berkelanjutan; (12) konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; (13) penanganan perubahan iklim; (14) ekosistem lautan; (15) ekosistem daratan; (16) perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh; (17) kemitraan untuk mencapai tujuan.

Read More

"Supaya mereka berkuasa... di bumi" : Sebuah Kisah Klasik dari Genesis





Pada mulanya, waktu Allah mulai menciptakan alam semesta, bumi belum berbentuk, dan masih kacau-balau. Samudra yang bergelora, yang menutupi segala sesuatu, diliputi oleh gelap gulita, tetapi kuasa Allah bergerak di atas permukaan air. Allah berkata, "Jadilah terang!" Lalu ada terang. Allah senang melihat hal itu. Lalu dipisahkan-Nya terang itu dari gelap, dan dinamakan-Nya terang itu "Siang" dan gelap itu "Malam". Malam lewat, dan jadilah pagi. Itulah hari yang pertama. Kemudian Allah berkata, "Jadilah sebuah kubah untuk membagi air itu menjadi dua, dan menahannya dalam dua tempat yang terpisah." Lalu hal itu terjadi. Demikianlah Allah membuat kubah yang memisahkan air yang ada di bawah kubah itu dari air yang ada di atasnya. Kubah itu dinamakan-Nya cakrawala. Malam lewat dan jadilah pagi. Itulah hari yang kedua.

Memasuki hari ketiga, Allah mengumpulkan air pada satu tempat, sehingga bagian bumi yang kering terlihat. Ia menamai kumpulan air itu laut dan yang kering itu darat. Hari terus berganti hari. Allah menciptakan segala jenis pepohonan beserta tumbuh-tumbuhan dna buah-buahan. Lalu Ia ciptakan benda-benda terang di langit untuk menerangi bumi pada siang dan malam hari. Allah meletakkan semuanya itu di cakrawala. Hari kembali berganti, kali ini Allah menciptakan berbagai jenis makhluk hidup di dalam air dan udara. Pada hari keenam, Allah menciptakan segala jenis binatang darat. Ia lihat seluruh karyanya dan merasa 

Demikianlah Allah menciptakan manusia, dan dijadikannya mereka seperti diri-Nya sendiri. Diciptakan-Nya mereka laki-laki dan perempuan. "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi..." Kemudian diberkati-Nya mereka. Allah memandang segala sesuatu yang telah dibuat-Nya itu dan Ia sangat senang. Malam lewat dan jadilah pagi. Itulah hari yang keenam.

Kerusakan alam sangat terkait dengan religiositas dan relasi manusia dengan sesama manusia, lingkungan sekitar, dan Allah. Pada tahun 1967, Lynn White Jr., seorang ahli sejarah abad-abad pertengahan, menulis artikel berjudul “The Historical Root of Our Ecological Crisis” yang dimuat dalam jurnal Science. Artikel ini menjadi tulisan yang sangat memengaruhi pemikiran kontemporer mengenai lingkungan hidup, secara khusus di dunia teologi. Sejak diterbitkan dalam jurnal tersebut, tulisan White dicetak ulang dalam berbagai publikasi dan telah memengaruhi dua generasi teolog yang memiliki perhatian khusus terhadap lingkungan.

White menyatakan bahwa perubahan peradaban manusia memengaruhi lingkungan dan makhluk selain manusia (White 1967, 1203). White melihat pemakaian mesin pembajak sawah sebagai salah satu contoh penemuan teknologi yang memengaruhi hubungan antara manusia dengan tanah. Sebelum mesin pembajak mulai banyak digunakan, petani mengolah tanah dan sawah sesuai dengan kemampuan mereka memiliki kerbau untuk membajak sawah tersebut. Artinya, tanah yang diubah menjadi persawahan pun dalam jumlah terbatas. Hasil panen sawah dimanfaatkan sebagai sumber makanan keluarga para petani. Penemuan mesin pembajak sawah membuat petani berorientasi pada hasil produksi sawah. Hasil panen tidak lagi dimanfaatkan sebagai sumber makanan, tetapi juga sumber penghasilan. Semakin banyak sawah, semakin banyak hasil panen, semakin banyak pula penghasilan yang didapatkan. White menuliskan, “Formerly man had been part of nature; now he was the exploiter of nature” (White, 1967: 1205).

Read More