"Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya..."



Empat tahun yang lalu, tepatnya 25 September 2015, para pemimpin dunia secara resmi mengesahkan Agenda Tujuan Sustainable Development Goals di Markas Besar United Nations, termasuk Indonesia. Mengusung prinsip “No One Left Behind,” tujuan-tujuan ini diharapkan mampu mengubah arah dunia menuju pembangunan berkelanjutan yang berdasar pada hak asasi manusia, baik di bidang sosial, ekonomi, maupun lingkungan hidup.

Sustainable Development Goals memiliki 17 tujuan, yakni (1) tanpa kemiskinan; (2) tanpa kelaparan; (3) kehidupan sehat dan sejahtera; (4) pendidikan berkualitas; (5) kesetaraan gender; (6) air bersih dan sanitasi yang layak; (7) energi bersih dan terjangkau; (8) pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; (9) industri, inovasi, dan infrastruktur; (10) berkurangnya kesenjangan; (11) kota dan pemukiman berkelanjutan; (12) konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; (13) penanganan perubahan iklim; (14) ekosistem lautan; (15) ekosistem daratan; (16) perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh; (17) kemitraan untuk mencapai tujuan.


Indonesia menyambut baik 17 tujuan SDGs ini melalui komitmen presiden, yakni Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada tanggal 4 Juli 2017 oleh Presiden Joko Widodo dan dibentuknya tim koordinasi SDGs Nasional di bawah Kepala Bappenas.

Menurut Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, dalam perjalanannya, pendekatan SDGs diterjemahkan dalam beberapa politik pembangunan, di antaranya isu ekonomi hijau (green economy) dan perubahan iklim (climate change) (Kemenkeu.go.id website 2019).

Namun dalam praktiknya, tampak bahwa peningkatan pendapatan daerah serta pemajuan ekonomi daerah justru masih mendominasi karakteristik pembangunan di daerah-daerah. Isu ekonomi hijau, perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan belum terlihat menjadi prioritas, terutama di level penganggaran APBD. Pemerintah memiliki peran yang penting, terutama dalam pengelolaan kebijakan fiskal untuk mendorong implementasi pembangunan hijau. Dalam Deklarasi Komunike Cikini 2018 terdapat 31 Pemerintah Daerah yang diwakili oleh pemerintah setempat dari daerah kaya hutan. Deklarasi ini mengukuhkan tekad tiap daerah untuk semakin menjaga hutannya.

Sonny Mumbunan, seorang peneliti di World Resources Indonesia, mengusulkan mekanisme Ecological Fiscal Transfers bagi daerah-daerah penyelamat hutan. Ecological Fiscal Transfers adalah mekanisme transfer fiskal dari negara kepada daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU) mempertimbangkan luas tutupan hutan di daerah tersebut. Ecological Fiscal Transfers diharapkan dapat membantu daerah-daerah yang berjasa melestarikan hutan dalam memelihara hutan dan mencegah kerusakan hutan. Bagi daerah-daerah kaya hutan, menjaga hutan berarti menghilangkan kesempatan peningkatan pendapatan daerah dan di sisi lain meningkatkan kebutuhan fiskal (fiscal need) daerah tersebut.

Ketiadaan pertimbangan pengadaan anggaran demi keberlanjutan lingkungan hijau mencerminkan belum adanya kesadaran di antara pihak terkait bahwa lingkungan hidup tidak dapat senantiasa lestari apabila tingginya intervensi manusia di dalamnya. Semakin tinggi intervensi manusia di lingkungan hijau, maka seharusnya semakin tinggi pula perhatian yang diberikan kepada pelestarian lingkungan.

Ketiadaan urgensi perubahan iklim dalam penganggaran belanja daerah mencerminkan semakin terputusnya hubungan atau relasi antara manusia dengan lingkungannya. Luas tutupan hutan semakin berkurang dari tahun ke tahun – dibuka untuk dijual atau dialihlahankan ke perkebunan sawit ataupun pertambangan. Pengalihan lahan ini tak jarang menciptakan konflik tanah atau wilayah hutan adat di antara petugas/perusahaan dan penduduk setempat.

Tanah (land) memiliki peran yang sentral dalam kehidupan manusia: tempat tinggal, sumber daya, warisan, dsb. Oleh karenanya, akan selalu ada pertanyaan teologis dan etis yang muncul. Apakah kaitan antara tanah dan kepemilikan seseorang terhadap kemiskinan dan hilangnya hak-hak orang tersebut?

Patrick D. Miller dalam The Gift of God: The Deuteronomic Theology of the Land mengatakan bahwa tanah memiliki makna teologis yang penting di dalam Alkitab. Tanah adalah anugerah atau pemberian dari Allah kepada bangsa Israel. Pemaknaan mengenai tanah, hubungan bangsa Israel dengan tanah perjanjian, dan kehidupan bangsa Israel berdasar pada pandangan teologis tentang tanah. Tujuan dari umat Allah ialah untuk hidup di dalam tanah perjanjian yang Allah berikan (Miller 453). Eksistensi bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah bergantung pada tanah perjanjian yang dianugerahkan Allah.

Masuknya bangsa Israel ke dalam tanah perjanjian merupakan keinginan Allah dan janji Allah kepada leluhur Israel, yakni Abraham. Kepemilikan terhadap tanah perjanjian dan hidup mereka di dalam tanah yang dijanjikan Tuhan merupakan anugerah keselamatan (gift of salvation). Hukuman terbesar yang dialami oleh bangsa Israel ialah kehilangan tanah perjanjian ini. Hal ini dapat dilihat dari ketidakpatuhan bangsa Israel kepada Allah dan ditindasnya bangsa Israel oleh bangsa-bangsa di sekitarnya. Tanah perjanjian memberikan berbagai manfaat dan kesempatan kepada bangsa Israel, sekaligus menuntut tanggung jawab yang signifikan baik secara personal maupun komunal (Miller 454).

Bangsa Israel memasuki tanah perjanjian

Tanah memiliki peran penting dalam pembahasan mengenai hukum yang berlaku di Israel mengenai tahun pembebasan (Yovel’ {יובל} (‘jubilee’)), secara khusus sebagai bentuk kepedulian kepada orang miskin yang membutuhkan dan salah satu cara untuk "mengistirahatkan" Bumi (Imamat 25). Yovel sendiri berarti terompet atau sangkakala. Pada tahun ke 50 setelah 7 tahun sabatikal, pada hari ke-10 di bulan ke-7, terompet akan dibunyikan sebagai tanda tahun pembebasan. Setiap properti dikembalikan kepada pemilik aslinya (Imamat 25: 10) dan mereka yang menjual diri sebagai budak karena kemiskinan akan mendapatkan kebebasannya (Imamat 25: 10). 

Pada tahun Yobel, seluruh bentuk kegiatan agrikultural, seperti penaburan benih dan penanaman dilarang. Setiap orang diharapkan untuk makan dan mencukupi diri dari apa yang dihasilkan alam tanpa campur tangan manusia (Imamat 25: 11). Oleh karena itu, mereka yang miskin diperbolehkan mengambil apa yang tumbuh dari tanah tanpa harus membayar atau mengganti rugi kepada pemilik tanah tersebut. 

Miller mencatat hal ini sebagai bentuk kepedulian untuk mereka yang membutuhkan. Setiap bagian dari komunitas harus mendapatkan akses yang mudah pada hasil alam karena hasil alam merupakan pemberian Allah. 


The land is not man's. It is God's gift to all Israel and is to be used in that light.

Berdasarkan pemahaman teologis mengenai tanah, meskipun manusia memperjualbelikan, mengusahakan, mewariskan tanah, akan tetapi, tanah selalu dimaknai sebagai pemberian Allah. Oleh karena itu, usaha apapun tidak dapat mengklaim secara absolut akan kepemilikan terhadap tanah melalui hak hukum atau pun warisan keluarga.

Anugerah yang dihasilkan oleh alam melalui tanah selalu berasal dari sumber kebaikan Allah yang adalah Allah dari segala makhluk dan semesta. Dalam perspektif Kristen, melalui kitab Imamat, penggunaan tanah idealnya ialah penggunaan yang tidak rakus dan mempedulikan pihak yang lebih lemah dan tertinggal.

Apa kaitannya teologi tentang tanah dengan habisnya hutan di Indonesia?

Fakta pertama, banyak area hutan yang ditebangi dan diubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Kebanyakan pembukaan lahan kelapa sawit dilakukan dengan metode tebang habis (land clearing) karena menghemat waktu dan tenaga. Apa ini hutan-hutan "terbakar" di Riau? God only knows.

Budidaya kelapa sawit dilakukan dengan sistem monokultur. Hilangnya keberagaman hayati menyebabkan menurunnya kualitas tanah. Tanaman menjadi mudah terserang hama dan penyakit. Untuk menghindari hama, maka tanah harus disemprot secara rutin dengna insektisida. Selain itu, penggunaan pupuk anorganik menyebabkan perubahan struktur tanah (dalam artian yang tidak baik) dan menurunnya kualitas kandungan unsur hara.

Proses produksi yang berlebihan tanpa memerhatikan kebaikan alam itu sendiri menunjukkan adanya diskoneksi antara manusia dengan lingkungannya. Cate Williams dalam The Land and the Forest: A Forest Church Perspective on the Theology of the Land menyatakan bahwa manusia mulai melihat dirinya tidak lagi sebagai bagian dari alam itu sendiri dan melupakan betapa bergantungnya hidup manusia kepada kesuburan tanah.

Kenyataan yang terjadi saat ini ialah manusia melakukan produksi yang abusif terhadap keseimbangan lingkungan. Sementara, Allah memberikan mandat pada manusia untuk merawat dan memelihara tanah dan alam itu sendiri. Manusia tidak dapat survive tanpa tanah. There is a symbiotic relationship between land and people, held in God (Williams 465).

Thanks to para peneliti yang bekerja di World Resources Institute, di antaranya Sonny Mumbunan. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, daripada berfokus pada pemerintah yang masih berkutat di produksi sawit, Sonny Mumbunan menawarkan perspektif lain, yakni agar kita berfokus pada hutan yang masih kita miliki. Perhatian tersebut dapat dicurahkan melalui pembagian transfer fiskal yang menyertakan luas tutupan hutan daerah sebagai salah satu indikatornya.

Jika kita kembali pada proses ketika Allah menciptakan semesta, Allah bekerja selama 6 hari. Kemudian Ia beristirahat pada hari yang ketujuh, melihat segala ciptaan-Nya, dan memberkatinya. Allah sendiri membiarkan hari ketujuh bagi alam untuk "hidup" dan "bernapas." Kita dapat melihat karya dan pekerjaan Allah melalui interaksi Allah dalam kesuburan bumi. Kepedulian Allah tidak menunjuk pada sesuatu yang surgawi dalam artian literal, melainkan pada kehidupan, tanah, dan kesuburannya.

The land is always the gift.



0 comments:

Post a Comment