"Supaya mereka berkuasa... di bumi" : Sebuah Kisah Klasik dari Genesis





Pada mulanya, waktu Allah mulai menciptakan alam semesta, bumi belum berbentuk, dan masih kacau-balau. Samudra yang bergelora, yang menutupi segala sesuatu, diliputi oleh gelap gulita, tetapi kuasa Allah bergerak di atas permukaan air. Allah berkata, "Jadilah terang!" Lalu ada terang. Allah senang melihat hal itu. Lalu dipisahkan-Nya terang itu dari gelap, dan dinamakan-Nya terang itu "Siang" dan gelap itu "Malam". Malam lewat, dan jadilah pagi. Itulah hari yang pertama. Kemudian Allah berkata, "Jadilah sebuah kubah untuk membagi air itu menjadi dua, dan menahannya dalam dua tempat yang terpisah." Lalu hal itu terjadi. Demikianlah Allah membuat kubah yang memisahkan air yang ada di bawah kubah itu dari air yang ada di atasnya. Kubah itu dinamakan-Nya cakrawala. Malam lewat dan jadilah pagi. Itulah hari yang kedua.

Memasuki hari ketiga, Allah mengumpulkan air pada satu tempat, sehingga bagian bumi yang kering terlihat. Ia menamai kumpulan air itu laut dan yang kering itu darat. Hari terus berganti hari. Allah menciptakan segala jenis pepohonan beserta tumbuh-tumbuhan dna buah-buahan. Lalu Ia ciptakan benda-benda terang di langit untuk menerangi bumi pada siang dan malam hari. Allah meletakkan semuanya itu di cakrawala. Hari kembali berganti, kali ini Allah menciptakan berbagai jenis makhluk hidup di dalam air dan udara. Pada hari keenam, Allah menciptakan segala jenis binatang darat. Ia lihat seluruh karyanya dan merasa 

Demikianlah Allah menciptakan manusia, dan dijadikannya mereka seperti diri-Nya sendiri. Diciptakan-Nya mereka laki-laki dan perempuan. "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi..." Kemudian diberkati-Nya mereka. Allah memandang segala sesuatu yang telah dibuat-Nya itu dan Ia sangat senang. Malam lewat dan jadilah pagi. Itulah hari yang keenam.

Kerusakan alam sangat terkait dengan religiositas dan relasi manusia dengan sesama manusia, lingkungan sekitar, dan Allah. Pada tahun 1967, Lynn White Jr., seorang ahli sejarah abad-abad pertengahan, menulis artikel berjudul “The Historical Root of Our Ecological Crisis” yang dimuat dalam jurnal Science. Artikel ini menjadi tulisan yang sangat memengaruhi pemikiran kontemporer mengenai lingkungan hidup, secara khusus di dunia teologi. Sejak diterbitkan dalam jurnal tersebut, tulisan White dicetak ulang dalam berbagai publikasi dan telah memengaruhi dua generasi teolog yang memiliki perhatian khusus terhadap lingkungan.

White menyatakan bahwa perubahan peradaban manusia memengaruhi lingkungan dan makhluk selain manusia (White 1967, 1203). White melihat pemakaian mesin pembajak sawah sebagai salah satu contoh penemuan teknologi yang memengaruhi hubungan antara manusia dengan tanah. Sebelum mesin pembajak mulai banyak digunakan, petani mengolah tanah dan sawah sesuai dengan kemampuan mereka memiliki kerbau untuk membajak sawah tersebut. Artinya, tanah yang diubah menjadi persawahan pun dalam jumlah terbatas. Hasil panen sawah dimanfaatkan sebagai sumber makanan keluarga para petani. Penemuan mesin pembajak sawah membuat petani berorientasi pada hasil produksi sawah. Hasil panen tidak lagi dimanfaatkan sebagai sumber makanan, tetapi juga sumber penghasilan. Semakin banyak sawah, semakin banyak hasil panen, semakin banyak pula penghasilan yang didapatkan. White menuliskan, “Formerly man had been part of nature; now he was the exploiter of nature” (White, 1967: 1205).

White menyatakan bahwa:
“What people do about their ecology depends on what they think about themselves in relation to things around them. Human ecology is deeply conditioned by beliefs about our nature and destiny-that is, by religion…. What did Christianity tell people about their relations with the environment?” (White 1967, 1205).

White berpendapat bahwa pemahaman hubungan manusia dengan lingkungan dipengaruhi oleh pengajaran agama, khususnya Kristen. Ia melihat bahwa Kekristenan mewarisi konsep penciptaan dari agama Yahudi. Allah yang Mahakuasa dan Mahakasih menciptakan terang dan gelap, bumi dan segala isinya, tumbuh-tumbuhan, berbagai hewan, ikan dan burung. Akhirnya, Allah menciptakan manusia. Lalu, manusia menamai seluruh hewan. White memandang hal ini sebagai penegasan dominasi manusia atas ciptaan non-manusia. “God planned all of this explicitly for man's benefit and rule: no item in the physical creation had any purpose save to serve man's purposes. And, although man's body is made of clay, he is not simply part of nature: he is made in God's image” (White, 1967: 1205). 

White menegaskan secara eksplisit bahwa Kekristenan, khususnya Kekristenan Barat, adalah agama yang paling antroposentris yang pernah ada di dunia (White, 1967: 1205). Manusia dianugerahi natur transenden Allah. Kekristenan secara “tidak sengaja” membangun perspektif dualisme antara manusia dan alam. Kekristenan juga menekankan bahwa eksploitasi atas alam demi keberlanjutan hidup manusia merupakan kehendak Allah sendiri.

Hadirnya Kekristenan menggantikan agama-agama primal membuat pemahaman agama primal yang naturalistik atau dekat pada alam terpinggirkan dan tergantikan oleh ajaran Kekristenan yang mengajarkan kekuasaan manusia atas ciptaan non-manusia. Agama-agama primal memercayai bahwa setiap pohon, setiap musim, setiap sungai, setiap bukit memiliki “genius loci” atau roh-roh pelindung (White, 1967: 1205). Ketika seseorang akan menebang pohon, membuka sebuah lahan, membuat bendungan, maka penting untuk melakukan proses “pendamaian” dengan roh-roh pelindung tersebut. Kedekatan spiritual terhadap alam ini hilang dan digantikan dengan rasa ketidakacuhan ketika agama-agama primal “disingkirkan” oleh Kekristenan.

Namun demikian, White menjelaskan perbedaan antara Kekristenan Barat dan Kekristenan Timur. Kekristenan Timur meyakini bahwa dosa adalah kebutaan intelektual dan keselamatan dapat ditemukan dalam pikiran yang jernih. Sementara, Kekristenan Barat memahami bahwa dosa adalah kejahatan moral dan keselamatan dapat ditemukan dalam tindakan yang baik. White menyebut teologi Orthodoks sebagai “intellectualist” dan teologi Latin sebagai “voluntarist”. Santo dari Kekristenan Timur berkontemplasi, santo dari Kekristenan Barat bertindak. Ia menyimpulkan bahwa implikasi Kekristenan yang merusak alam lebih mudah berkembang di atmosfer Kekristenan Barat daripada di Timur. Tradisi Kekristenan Timur meyakini bahwa Allah berbicara kepada manusia melalui alam. White menyatakan, “[Orthodox’s] view of nature was essentially artistic rather than scientific” (White, 1967: 1206). 

Menurut White, peradaban manusia saat ini, termasuk sains dan teknologi, berkembang dalam era yang disebutnya the post-Christian age (White, 1967: 1205). Saya memahami bahwa hal ini juga merupakan dampak dari kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa dengan semboyan terkenalnya—gold, glory, gospel. Ia menyatakan bahwa, “For nearly two millennia Christian missionaries have been chopping down sacred groves, which are idolatrous because they assume spirit in nature” (White, 1967: 1206).

White berpendapat bahwa manusia akan terus memperburuk krisis ekologis hingga manusia menolak pandangan Kekristenan yang menganggap bahwa “nature has no reason for existence save to serve man” (White, 1967: 1207). Ia memberikan alternatif teologis dengan melihat sosok St. Fransiskus dari Asisi yang memandang bahwa seluruh ciptaan itu sama (equal), termasuk manusia, sebagai pengganti pandangan yang melihat dominasi manusia atas ciptaan. Oleh karena, menurut White, “the roots of our [ecological] trouble are so largely religious, the remedy must also be essentially religious” (White, 1967: 1207).

Tulisan White menuai kritik dari para teolog Kristen. Namun, kritik historis ini, bisa jadi dunia teologi tetap akan "terlelap" dalam puisi-puisi estetik khas Raja Daud dalam kitab Mazmur. Poin yang ingin disampaikan oleh White terkait pengaruh perkembangan sains dan teknologi tak dipungkiri masih tetap relevan hingga lima puluh tahun kemudian. Namun menurut saya, Kekristenan tidak serta-merta menghancurkan hubungan manusia dan alam ketika penginjilan dilakukan di tempat-tempat kolonisasi negara-negara Eropa. Perkembangan sains dan teknologi tetap memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kesadaran ekologis-spiritual manusia terhadap lingkungannya. Namun, di antara semuanya itu, pertumbuhan ekonomi dan pasar memiliki peran terbesar (hal ini akan dibahas dalam tulisan selanjutnya).




Ketika mempertanyakan pilihan mana yang lebih penting: ekonomi atau ekologi, pilihan kedua sudah selalu kalah. Kecenderungan tiap negara untuk mementingkan perekonomian memang tidak sepenuhnya salah. Namun, di tengah-tengah krisis ekologis seperti saat ini, apa gunanya perekonomian canggih, efektif, dan efisien jika saat ekonomi negara ini berada pada titik tertinggi, justru ekologi atau lingkungan kita berada pada titik terendah?

Green economy atau ekonomi hijau berdasar pada pembangunan yang berkelanjutan dan berperspektif ekologis tengah dicanangkan di dunia global. Dalam peresmian Agenda Tujuan Sustainable Development Goals empat tahun yang lalu, United Nations bersepakat untuk menangani perubahan iklim, termasuk Indonesia, bahkan Presiden Joko Widodo menunjukkan keseriusannya melalui disahkannya Perpres No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan SDGs.

Yang menjadi permasalahan di negara ini ialah kebijakan-kebijakan yang ada selalu tampak "ideal." Negara ini paling agresif dalam merumuskan kebijakan. Hanya saja, implementasinya, terutama di daerah-daerah masih belum merata. Mungkin beberapa daerah masih belum mengetahui apa itu SDGs. Kebijakan dan arah pembangunan di daerah belum menunjukkan adanya sensitivitas terhadap isu kerusakan alam. Dalam tulisan saya sebelumnya, saya sempat menyoroti isu kebakaran hutan di Riau yang merusak wilayah hutan dan lahan gambut di daerah tersebut. Apakah pemerintah Riau tidak memiliki kebijakan terkait pelepasan lahan hutan? Tentu saja mereka memiliki kebijakan tersebut. Lantas, mengapa lahan yang sudah terbakar tampak seperti diperjualbelikan? Hanya Tuhan dan yang bersangkutan yang tahu.

Selain itu, peraturan di Indonesia juga belum berpihak kepada daerah-daerah yang memiliki lingkungan yang masih asri dan rimbun hutannya. Di sisi lain, sering kali daerah-daerah seperti ini dijadikan sasaran atau tujuan wisata. Tanpa adanya kebijakan yang tegas dari pemerintah terkait lahan hutan, lahan-lahan hutan yang ada akan semakin mudah diperjualbelikan.

Tidak adanya rasa keberpihakan terhadap lingkungan hidup menunjukkan prioritas pembangunan negara yang masih terlalu berpaku pada ekonomi semata (baca: pendapatan daerah). Jika ditilik dari perspektif spiritualitas ekologis, tampaknya memang manusia telah terdiskoneksi dari alam sekitarnya. Alam, tumbuhan, dan hewan hanya memiliki nilai sejauh ia memiliki utilitas. Sementara itu, dalam teologi Kristen sendiri, ciptaan yang satu dengan ciptaan yang lain berada dalam satu relasi cinta kasih dengan Pencipta--Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Relasi memiliki makna yang sentral dalam iman Kristen. Seluruh ciptaan berada dalam hubungan interrelasi (interrelation, interconnected, interdependence) karena tidak ada makhluk yang ada pada dirinya sendiri.

Melihat realitas yang terjadi di Indonesia saat ini, patutlah kita membenarkan ajakan Uskup Besar Konstantinopel, His All-Holiness Ecumenical Patriarch Bartholomew, bahwa jika permasalahan ekologis adalah permasalahan religius-spiritual, maka yang diperlukan ialah pertobatan religius-spiritual pula. Sebagai negara yang cenderung mengagungkan religi, maka warga negara ini pun perlu menilik kembali praktik dan gaya hidup keseharian mereka. Deklarasi Komunike Cikini pada tahun 2018 dapat menjadi sebuah indikator yang mengukur kesadaran pemerintah dan pembuat kebijakan akan krisis lingkungan hidup yang tengah mengancam. Akan tetapi, seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, kebijakan-kebijakan yang ada sering berhenti pada tataran nasional.

Salah satu kritik saya terhadap gereja, ekoteologi, spiritualitas ekologis, dan aksi-aksi teologi hijau pada umumnya ialah betapa seringnya teologi berhenti pada titik "menjadi saksi" demi menyelamatkan lingkungan (tentang misi dan ekologi akan saya bahas di tulisan selanjutnya). We talk the talk, but not walk the walk. Misi berhenti pada "menjadi saksi." Usulan saya:

jadilah aksi.

Bagaimana caranya?

Selamatkan lingkungan. Selamatkan laut. Selamatkan sungai. Selamatkan langit. Selamatkan hutan.

Bersaksi (witnessing), terutama, bila melalui makalah, hanya berakhir pada buku dan prosiding yang kerap kali tak terbaca atau hanya dibaca segelintir orang. Saya selalu menekankan inilah pentingnya kerja sama lintas sektor atau lintas disiplin. Gereja dan teologi melalui peran-perannya dapat mentransformasi pola pikir jemaat. Namun, Gereja tidak dapat mengandalkan dirinya sendiri. Gereja perlu berjumpa dengan institusi-institusi lainnya, terutama institusi yang secara langsung menyentuh hidup masyarakat umum.

Sonny Mumbunan, seorang ekonom dan peneliti di World Resources Institute Indonesia, menunjukkan salah satu cara ber(s)aksi. Ia memperjuangkan keadilan bagi daerah-daerah yang menjaga luas tutupan hutan mereka. Daerah-daerah ini telah memprioritaskan kelestarian lingkungan mereka. Oleh karena itu, hal ini berimbas pada minimnya pendapatan daerah tersebut. Kemampuan fiskal daerah terbatas karena penekanan pada keselamatan lingkungan. Akhirnya, celah fiskal (fiscal gap) pun tak terhindarkan.

Sonny mengusulkan dibentuknya mekanisme transfer fiskal ekologis (ecological fiscal transfers) bagi daerah-daerah penjaga hutan dengan menjadikan deforestasi dan luas tutupan hutan daerah tersebut sebagai indikator perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU). Dana Alokasi Umum (DAU) dipilih karena jumlahnya yang cukup besar jika dibandingkan dengan alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH-SDA) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Mekanisme transfer fiskal ekologis ini diharapkan dapat memperkecil celah fiskal yang ada di daerah kaya hutan--demi tercapainya keadilan ekologis bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mengapa pengetahuan dan pemahaman mengenai transfer fiskal ekologis (ecological fiscal transfers) ini penting bagi gereja-gereja di Indonesia?

Jika sebuah jemaat terdiri dari rata-rata 2.000 orang dan terdapat lebih dari 50.000 gereja di seluruh Indonesia, yang anggotanya berasal dari beraneka golongan dan profesi, besar dampak yang dihasilkan bisa jadi mengejutkan. Daripada berkhotbah semata-mata menunjukkan betapa rusak dan kotornya laut dan alam melalui gambar-gambar yang menyedihkan, gereja dapat beraksi, misalkan, kantong persembahan dalam satu atau dua kali setahun ditujukan secara khusus untuk penanganan celah fiskal ini. Pada titik itulah, gereja sedang ber(s)aksi.

Ternyata memang tidak semudah itu, Ferguso... Mengingat pengkhotbah saja masih berseru, "Save the Earth!" dari dalam ruangan ber-AC....

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

White Jr., Lynn. 1967. “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis” dalam Science Vol. 155, No. 3767 (Mar. 10, 1967). USA: American Association for the Advancement of Science, pp. 1203-1207.

Location: Jakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia

0 comments:

Post a Comment