Bertahun-tahun lalu, Indonesia masih disebut sebagai paru-paru dunia. Mengapa? Karena negara ini dipenuhi hutan hujan tropis yang kaya akan flora dan fauna, dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Akan tetapi, jika saat ini, per tahun 2019, ada yang mengatakan bahwa Indonesia adalah paru-paru dunia, maka orang tersebut akan saya tertawakan. Indonesia sebagai paru-paru dunia? Paru-paru seperti apa yang dimaksud? Paru-paru orang "bengek" (asma)? Atau paru-paru perokok? Mengingat kasus kebakaran hutan di Riau di tahun 2015 yang memakan lebih dari 2 juta hektar area hijau, maka dapat disimpulkan planet Bumi ini seperti perokok akut dengan paru-paru yang sudah rusak, hanya tinggal menunggu kematiannya.
Banyak orang menyimpan rasa curiga di dalam hati, termasuk saya, ketika mendengar kata kebakaran hutan. Apakah musim kemarau benar-benar dapat menyebabkan hutan kebakaran? Dari mana sumber api berasal? Apakah dari dalam tanah (imajinasi saya membayangkan api dari perut Bumi keluar dari tanah yang retak karena kering, sorry! hehe) atau simply karena terpapar sinar matahari? Imajinasi saya tentang api yang keluar dari tanah seperti kisah Musa dan semak api yang terbakar dalam Alkitab, lantas luruh ketika pada kenyataannya lahan yang terbakar adalah lahan gambut.
Setelah diusut, menurut hasil penelitian Wetlands International Indonesia, berdasarkan fakta yang ada, hampir semua kebakaran hutan di Indonesia disebabkan oleh kegiatan manusia, baik disengaja atau tidak disengaja, dan belum ada bukti kebakaran yang terjadi secara alami (Wibisono dkk 2005, 12). Lahan perhutanan sering dibakar secara sengaja agar terbuka untuk kepemilikan pribadi. Tak butuh waktu lama agar lahan bekas kebakaran ini beralih fungsi menjadi barisan pohon kelapa sawit.
Mari kita bayangkan bersama, jika tujuan hutan tersebut dibakar demi terbukanya celah kepemilikan lahan perseorangan ataupun swasta, maka dimana letak pertimbangan moral pihak-pihak yang mengizinkan hal tersebut terjadi? Keselamatan dan kesehatan ribuan orang diperjualbelikan demi keuntungan yang hanya dinikmati pihak-pihak tertentu: ketidakadilan.
Apakah memang manusia hanya mementingkan keuntungannya semata? Alam tampaknya tidak memiliki arti selain sebagai komoditas bernilai ekonomis. Kebijakan dan rencana pembangunan pemerintah pusat juga masih terlalu berfokus pada pembangunan yang berorientasi pada infrastruktur atau fisik. Bahkan, ketika menyampaikan kuliah umum di STFT Jakarta beberapa tahun yang lalu, Ir. (Purn). Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan bahwa negara ini bertumpu pada perkebunan kelapa sawit untuk meningkatkan pendapatan ekonomi negara. Ke depannya, lahan-lahan ini justru akan semakin diperluas. Sontak, pernyataan ini mendapat reaksi dari beberapa mahasiswa yang mendalami ekoteologi - cabang ilmu teologi yang mendalami lingkungan hidup dari perspektif Kristen.
Pertanyaannya ialah: siapa yang bertumpu pada hasil dari perkebunan sawit tersebut: negarakah atau para pengusaha yang mengatasnamakan kepentingan negara? Dengan berorientasi pada keuntungan ini, menjadi wajar apabila banyak pihak berlomba mendapatkan izin membuka lahan. Oleh karena itu, daerah hutan, yang berfungsi untuk menahan air hujan, menjadi sasaran empuk.
Hutan hujan tropis dan hutan adat menjadi sumber konflik antara masyarakat dan pemerintah maupun pihak swasta. Kebijakan pemerintah yang sama sekali tidak bijak masih lebih berpihak kepada para pengusaha. Daerah kaya hutan terhimpit oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah sehingga pemerintah setempat tidak memiliki dana untuk mengurus hutan daerah. Daerah kaya hutan adalah daerah (seperti kabupaten) yang sebagian besar wilayahnya merupakan hutan. Semakin luas wilayah hutan yang berada di daerah tersebut, semakin tinggi biaya yang ditanggung untuk kegiatan-kegiatan terkait perlindungan dan pemulihan hutan.
Namun yang terjadi ialah, daerah kaya hutan kehilangan kesempatan untuk sumber penerimaan daerah, karena tidak ada pendapatan dari perkebunan sawit atau pertambangan batu bara. Dari segi ini, daerah kaya hutan memiliki kemampuan fiskal (fiscal capacity) yang lebih rendah dibanding daerah yang tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit wilayah hutan.
Di sinilah letak ketidakadilan yang lain. Siapa yang menikmati kebaikan dari daerah kaya hutan? Setiap orang. Siapa yang mengalami kerugian karena ketiadaan pendapatan daerah? Hanya masyarakat di daerah tersebut.
Di dalam dunia teologi, terutama teologi lingkungan hidup, pandangan yang melihat alam sebagai komoditas ekonomis ini dianggap sebagai akibat dari antroposentrisme nilai-nilai teologi yang melihat manusia sebagai pusat karya ciptaan Allah. Tafsiran terhadap narasi penciptaan dalam Perjanjian Lama terutama dalam Kejadian 1: 26, Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."
Kata "berkuasa" mengandaikan bahwa manusia memiliki posisi yang lebih tinggi dari ciptaan non-manusia, hewan dan tumbuhan. Seolah-olah ketika Allah menciptakan manusia, ada pemberian kuasa dan hirarki dalam grand narrative pekerjaan Allah kepada manusia. Tafsir ini mau tidak mau tersampaikan kepada umat melalui ajaran gereja dan khotbah-khotbah. "Berkuasa" juga mengindikasikan bahwa si "penguasa" memiliki hak untuk mempergunakan ciptaan non-manusia sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya.
Ekoteologi mengkritik pandangan ini. Pemahaman manusia mengenai relasinya dengan lingkungan hidup berhubungan dengan pemahaman manusia mengenai dirinya sendiri (Hutagalung 2016). Apabila manusia melihat dirinya bukan bagian daei lingkungan, maka manusia pun akan memperlakukan alam sebagai objek yang harus dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan manusia itu sendiri. Ekoteologi muncul sebagai upaya untuk merekonstruksi ajaran-ajaran Kristen yang sangat antroposentris. St. Fransiskus dari Asisi, yang oleh umat Katolik dipercaya dapat berbicara dengan hewan, memandang bahwa seluruh ciptaan itu sama, termasuk manusia, sebagai pengganti pandangan yang melihat dominasi manusia atas ciptaan.
Apakah pembangunan dan kelestarian alam tidak dapat berjalan beriringan? Selalu berada di dua kutub, timur atau barat, utara atau selatan? Kemudahan akses dan kelestarian alam tentu dapat berjalan beriringan. Kata kuncinya: kebijakan pemerintah. Sebagai negara yang menghargai otonomi daerah, maka kebijakan pemerintah daerah juga memiliki peranan terpenting. Justru, pemerintah daerah yang dianggap sering memudahkan proses perizinan pembukaan lahan hutan untuk usaha.
Sonny Mumbunan, seorang peneliti di World Resources Indonesia, mengusulkan mekanisme Ecological Fiscal Transfers bagi daerah-daerah penyelamat hutan. Ecological Fiscal Transfers adalah mekanisme transfer fiskal dari negara kepada daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU) mempertimbangkan luas hutan di daerah tersebut. Ecological Fiscal Transfers diharapkan dapat membantu daerah-daerah yang berjasa melestarikan hutan dan menyelamatkan paru-paru Bumi dalam memelihara hutan dan mencegah kerusakan hutan.
Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah, berpihak kepada para penyelamat hutan. Tanpa upaya para penyelamat hutan ini, mungkin Indonesia sebagai paru-paru dunia telah rusak sama sekali, ibarat paru-paru rusak seorang perokok berat.
Lagi, ekoteologi memperkenalkan konsep stewardship atau penatalayanan sebagai satu jawaban terhadap perintah Allah dalam narasi penciptaan di kitab Kejadian. Allah mempercayai manusia untuk bertanggung jawab atas seluruh ciptaan dan bukan semata-mata untuk memanfaatkan atau menguasainya. Allah mengundang manusia ke dalam relasi penuh cinta Trinitas bersama dengan seluruh ciptaan. Keselamatan hutan adalah tanggung jawab setiap manusia yang telah diciptakan Allah. Ketika kita membunuh hutan, sesungguhnya kita sedang membunuh diri kita sendiri.
Keywords: ekoteologi, teologi lingkungan, keselamatan hutan, ecological fiscal transfers (EFT), Dana Alokasi Umum (DAU), stewardship, penciptaan, transfer fiskal ekologis, hutan jadi DAU
0 comments:
Post a Comment