Hari 3
28 Mei 2016
Hampir
seharian kuhabiskan untuk berbaring di tempat tidur. Jet lag yang kualami begitu luar biasa. Sakit kepala, mual, dan
nyeri di seluruh badan. Tidur yang tidak teratur semenjak memasuki bulan Mei
karena mengerjakan UAS serta belum terbiasanya tubuhku dengan perbedaan waktu
dua jam membuat segalanya menjadi lebih runyam.
Sejenak
aku begitu menyukai tempat ini sekaligus membencinya. Ada satu hal yang kurang
dari tempat ini: suara. Sepi. Sepi sekali, terutama di siang hari. Di rumah
hanya ada Bu Pendeta Anita. Bapak Pendeta baru mengalami kecelakaan beberapa minggu
yang lalu sehingga sampai hari ini beliau masih di Tobelo agar akses kesehatan
lebih mudah didapatkan.
Di
siang hari, tidak ada suara TV karena memang keluarga Bapak dan Ibu Pendeta
Saya-Leaua baru saja dipindahtugaskan ke Pediwang empat bulan yang lalu. Hanya
ada deru kendaraan sesekali. Keheningan ini membuatku pusing. Aku tidak
terbiasa dengan tempat yang sunyi. Aku mendapatkan energiku dari orang-orang
yang berada di sekitarku. Aku akan merasa sangat lemas apabila aku jauh dari
keramaian.
Ketiadaan
sinyal internet semakin menambah rasa sepi yang kurasakan. Aku hanya bisa
berkomunikasi dengan orang-orang terdekatku melalui SMS saja. Untungnya mereka
memotivasiku dan memberi semangat kepadaku. Seorang guruku bahkan menyarankan
agar aku belajar menerima keadaan seperti itu dan menghabiskan waktuku dengan
menulis saja. Akan tetapi, kepalaku bersikeras bahwa aku tidak menyukai
keheningan seperti ini.
Keluarga
Pendeta Saya-Leaua memang memiliki tiga orang anak. Hanya saja anak yang
pertama sedang berkuliah di UKSW, sementara dua orang lainnya sedang berada di
Tobelo bersama dengan Bapak Pendeta Ahmad. Hal tersebut membuat suasana semakin
sepi dan sunyi terutama pada siang hari.
Badanku
terasa begitu lelah. Aku menggunakan waktuku hampir seharian untuk
beristirahat. Aku keluar kamar hanya untuk makan sambil bercakap-cakap dengan
Ibu Pendeta.
Ketika
hari mulai beranjak sore, Ibu Pendeta mengajakku berjalan-jalan ke pantai. Kami
berjalan kaki menuju laut. Aku sangat senang karena penasaran dengan laut yang
telah terlihat dari jalan raya itu. Kami harus berjalan cukup jauh agar bisa
mencapai pantai.
Ibu Pendeta Anita tampak belakang |
Tanjung Teto Senja itu bernama "Biru" :)
|
Aku
terheran ketika tiba di tepi pantai. Pasir pantai bukan seperti pasir pantai
yang biasa kujumpai di pulau-pulau di sekitar Pulau Batam. Pasir pantai di
Pediwang besar-besar seperti pasir yang digunakan untuk bangunan.
Puas
bermain di pantai, kami pun melangkah pulang.
“Selamat
sore.” Sapa beberapa orang yang sedang duduk di halaman rumah mereka.
“Sore.”
Balas kami.
Satu
hal yang langsung kujumpai di tempat ini adalah budaya sapa. Setiap orang yang
berpapasan dengan kita akan tersenyum sambil menyapa. Budaya sapa membawa
pengaruh positif dan mungkin menghasilkan hormon yang membuat kita lebih
bahagia. Saya sendiri begitu senang menyapa orang, yang bahkan tidak saya
kenal, di tempat asal saya. Hanya saja kebiasaan ini sedikit meluntur di
Jakarta karena Anda akan dikira sok kenal dan sok dekat ketika menyapa orang
yang tidak mengenal Anda. Di tempat ini aku membiasakan diri kembali disapa dan
menyapa orang-orang yang belum kukenal.
Malam
harinya kami melaksanakan ibadah tutup usbu
di rumah duka. Aku dijemput oleh Wakil Ketua Majelis Jemaat Lahairoi. Aku
terkejut ketika berjalan ke luar pastori dan menemukan langit bertabur bintang
di atas Desa Pediwang. Langit begitu gelap dan bersih. Bintang-bintang yang
tidak terhitung banyaknya menghiasi langit. Aku merinding seketika melihat
keindahan yang berada di atasku. Ah, sungguh indah, Kau, Tuhan!
Everytime I look at the sky, I remember my life there :( |
0 comments:
Post a Comment