Pediwang-Leleoto-Pediwang

Day 11
5 Juni 2016

Sabtu sore aku berkutat dengan bahan khotbah yang akan kukhotbahkan besok harinya. Aku merasa sangat gugup. Berkali-kali aku membolak-balik buku berisi liturgi GMIH yang berbeda setiap minggu gerejawi. Aku juga memilih lagu-lagu yang cocok. GMIH tidak memiliki leksionari sehingga kita bebas memilih topik atau tema atau perikop yang akan menjadi khotbah pada hari Minggu. Pencarian dan penentuan topik serta perikop itu menjadi tantangan tersendiri. Akan tetapi, mata kuliah Homiletika dan Latihan Khotbah memang sangat membantu. Untuk saat ini aku mencari dulu pesan apa yang ingin aku sampaikan kemudian aku mencari teksnya.
Senja di halaman pastori Sabtu itu

Ini adalah kali pertama aku menaiki mimbar. Saat proses Pembelajaran Jemaat yang lalu, gereja tempat aku berjemaat tidak mengizinkanku berkhotbah di ibadah umum sehingga aku pun belum merasakan sensasinya. Selama proses menyiapkan naskah khotbah juga menjadi tantangan tersendiri bagiku. Aku disadarkan bahwa melayani membutuhkan pengudusan diri. Itulah kodeku setiap kali pelayanan. Aku tidak dapat berkhotbah tentang sesuatu yang aku sendiri tidak mampu lakukan, mengampuni misalnya. Aku tidak mungkin meminta orang lain harus mengampuni sementara aku sendiri tidak mampu berlaku seperti itu.

Hari ini aku mengangkat tema tentang kesetiaan umat kepada Tuhannya. Aku mengambil nats kitab Ratapan 3: 21-24. Sebelum ibadah dimulai, aku juga mengikuti saran teknis dari dosen-dosen di STT Jakarta, yakni mengecek mimbar. Aku meletakkan tisu dan air minum di sekat yang ada di mimbar. Hatiku semakin deg-degan. Berulang kali aku berdoa dalam hati memohon tuntunan Tuhan.
Ibadah berjalan dengan lancar. Aku sangat berhati-hati dalam berbicara. Aku juga belum berani menatap jemaat secara keseluruhan. Yang mengherankanku, gereja terlihat lengang di bagian depan, kondisi serupa dengan minggu yang lalu. Memang di hari Minggu yang lalu, Bapak Ruben, sekretaris jemaat mengadakan hajatan pernikahan anak laki-lakinya di Kulano. Lebih dari separuh penduduk desa berangkat ke sana untuk mengikuti perhelatan itu. Akibatnya jumlah jemaat yang beribadah pun berkurang.
Namun hari ini tidak ada perhelatan. Jumlah jemaat yang hadir sangat jauh dari jumlah total seperti yang dituliskan di surat keputusan dari Sinode GMIH, 1018 KK. Menurut perkiraanku, jumlah jemaat yang hadir pada saat itu hanya mencapai 250-300 orang, atau bahkan kurang. Ini menjadi satu misteri baru yang harus kupecahkan nantinya.
Berita jemaat dibacakan sebelum ibadah dimulai kemudian dilanjutkan dengan liturgi seperti gereja pada umumnya. Ada rasa bahagia ketika aku bisa menyelesaikan tugasku saat itu. Ada rasa lega ketika kami berdoa bersama-sama dengan seluruh pelayan yang ada pada saat itu di konsistori.
“Kak Novri, ikut ibadah pemuda kan?” tanya seorang perempuan kepadaku. Aku belum mengenalnya.
“Iya.” Jawabku. “Sebentar ya aku ganti pakaian dulu.”
“Iya, Kak. Nanti ada pemuda yang jemput Kakak di pastori ya, Kak.” Katanya. Aku mengangguk dan buru-buru berlari ke pastori. Aku melepaskan jasku dan meluruskan kakiku sejenak.
“Novri, ada pemuda yang jemput.” Panggil Bapak Pendeta. Aku mengganti pantofel berhak dengan sepatu teplek lalu berjalan keluar kamar.
“Ayo berangkat, Victor” Kataku setelah menanyakan namanya. Dengan menaiki motor kami menuju tempat ibadah yang dekat dengan pemakaman yang beberapa waktu lalu kudatangi.
Aku berkenalan dengan Apner saat itu. Kami bercakap-cakap sebentar di muka jalan sambil menunggu kedatangan teman-teman pemuda yang lain. Ini adalah kali pertama aku mengikuti kebaktian pemuda. Aku merasa sangat canggung karena keberadaanku saat itu yang belum dikenali dan juga posisiku sebagai “calon pendeta” membuat teman-teman pemuda seperti enggan dan takut untuk dekat-dekat denganku. Belum lagi penatua dan diaken yang memperlakukanku berlebihan dan meminta aku harus duduk dekat-dekat dengan mereka. Tentu saja pemuda enggan duduk dekat-dekat dengan penatua atau diaken karena mereka harus bersikap sopan, atau bahkan lebih tepat jika dikatakan, kaku.
Setelah selesai beribadah MC melanjutkan ke acara ramah tamah.
“Teman-teman pemuda, saat ini bersama-sama dengan kita seorang Nona yang diutus kampusnya untuk melayani di jemaat Pediwang ini. Kepada Nona, mungkin boleh memperkenalkan diri.” Ujar Ibu Diaken Rince.
Aku maju dan berdiri di muka pintu rumah. “Selamat siang, teman-teman. Perkenalkan nama saya Novriana Gloria Hutagalung. Teman-teman boleh memanggil saya Novri. Saat ini saya sedang berkuliah di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, memasuki semester lima. Saya diutus oleh sinode GMIH untuk melayani di jemaat Lahairoi Pediwang ini. Praktik dimulai dari akhir Mei yang lalu hingga 12 Agustus mendatang. Selain itu, dalam proses ke depannya, saya juga mendapat tugas dari kampus untuk membuat laporan, yang bertema “Pelayanan Pemuda terhadap Masyarakat Majemuk”. Jadi, mungkin ke depannya saya akan bercakap-cakap dengan teman-teman yang ada di sini saat ini.”
“Terima kasih, Nona.” Kata Ibu Rince. “Jadi, sekarang Nona sudah ada di sini. Kalau mau berkenalan, silakan datang ke pastori karena Nona tinggal di sana. Tapi, tolong diingat ya, jangan bawa Nona melakukan hal yang aneh-aneh! Jangan ajak baminum, jangan basedu berlebihan. Yang baik-baik saja.”
“Nona, suka menonton bola?” tanya Apner ketika ibadah telah berakhir.
Aku mengangguk. “Suka. Kenapa? Siapa yang bertanding?”
“Nanti kita ada tanding di Leleoto. Nona mau ikut nonton?” tanya Apner lagi.
“Boleh. Tapi pergi dengan siapa?” tanyaku.
“Victor, nanti Nona mau ikut nonton bola. Ngana jemput pa Nona e?” kata Apner. Victor mengangguk.
“Siapa saja yang ikut?” tanyaku lagi.
“Banyak pastinya.” Jawab Apner.
Menjelang sore mereka datang menjemputku di pastori. Dengan menggunakan motor kami yang saat itu hanya empat orang melaju. Di tengah jalan hujan deras tiba-tiba membuat kami basah kuyup. Memasuki Desa Togolioa kami menepi dan berteduh sebentar. Ketika hujan terlihat agak reda, kami melanjutkan lagi perjalanan kami.
Ketika kami hampir memasuki Desa Paca, hujan semakin deras. Dengan keadaan basah kami menepi di satu-satunya rumah yang ada di sekitar hutan. Rumah panggung itu hanya rumah sementara. Sepertinya yang empunya rumah akan membangun rumah. Ada dua kamar kamar panggung berisi pakaian-pakaian. Teras rumah begitu terbuka membuat kami tetap terkena percikan air hujan.
“Duduk, Nona.” Kata seorang yang empunya rumah. Ia mengeluarkan bangku. Ah, lagi-lagi aku terharu. Mereka tidak mengenal kami yang saat itu sedang berteduh tapi dengan rela mereka mengeluarkan bangku untuk kami duduki sembari menunggu hujan reda.
Aku menoleh ke dalam rumah tanpa pintu itu. Bagiku rumah itu tidak layak huni. Hanya papan-papan kayu berlantaikan tanah yang diberi atap. Aku melihat keluarga besar yang ada di rumah itu justru berdiri. Mereka boleh memakai bangku ini untuk mereka duduk karena semua orang yang ada di tempat itu juga berdiri. Kami adalah tamu tak diundang. Mereka tidak perlu repot-repot mempersilakan orang asing duduk dan menyusahkan mereka. Akan tetapi, mereka tetap melakukannya.
Orang-orang yang tidak mengenal kami ini justru melakukan apa yang Yesus perintahkan dalam Matius 25: 35, memberikan orang asing tumpangan. Tumpangan yang pada saat itu mendesak dan sangat dibutuhkan. Tumpangan sederhana namun penuh dengan sambutan.
Kami menunggu agak lama baru hujan reda. Di sana juga aku melihat dua orang pemuda yang belakangan kuketahui bernama Ongen dan Jeki.
“Lomba dimulai jam berapa?” tanyaku.
“Jam lima. Tapi Pemuda GMIH punya urutan pertandingan kedua.” Jawab Apner.
Namun ketika masih gerimis, tiba-tiba saja mereka berlari ke arah motor. “Kita terobos hujan saja ya.” Kata Victor.
“Oke.” Jawabku. “Agak laju saja. Biar cepat.”
“Oi, katanya ngebut!” seru Victor kepada Apner dan Glori.
Aku hampir saja ingin memprotes, tapi aku mendiamkan saja. Victor membawa motor sangat ngebut dan jalan yang masih licin dan basah karena hujan deras membuat jantungku hampir berhenti berdetak. Sepanjang jalan aku berdoa. Jalan-jalan menikung, menanjak, dan menurun itu begitu mengerikan.
Ketika kami mulai memasuki wilayah Desa Paca/Leleoto, jalanan terlihat kering. Hujan bahkan tidak sampai ke tempat itu! Tadinya aku telah membayangkan orang-orang akan berbecek ria. Ternyata perkiraanku salah.
Tim sedang bertanding

Lapangan itu telah dipenuhi banyak orang. Ada dua tim yang sedang bertanding. Pertandingan sedikit membosankan karena sepertinya masing-masing tim belum lihai bermain. Waktu terasa berjalan lama. Ketika dua tim ini selesai bertanding, tibalah giliran tim Pemuda Gabungan GMIH dan tim dari Bank Mandiri. Kali ini permainan begitu seru. Tiba-tiba saja babak satu selesai dan dilanjutkan ke babak kedua. Ketika hari semakin gelap, keluarlah Pemuda GMIH sebagai pemenang pertandingan hari itu.
Senja selalu luar biasa
Bersama dengan seluruh pemain dan penonton dari jemaat-jemaat GMIH kami turut mengikuti arak-arakan kemenangan itu. Sayangnya, kabar gembira ini dirusak oleh kabar yang kudengar selanjutnya, mereka merayakan kemenangan itu di Tobelo…dengan miras.
Di jalan menuju Pediwang

Teman-teman baru yang kemudian menjadi sahabat :')

Location: Leleoto, South Tobelo, North Halmahera Regency, North Maluku, Indonesia

1 comment: