29 Mei 2016
Hari
Minggu tiba. Pada hari inilah aku akan diperkenalkan kepada jemaat. Jantungku
berdebar tidak karuan. Hari ini juga kali pertama aku mengikuti ibadah di GMIH.
Aku belum mencari tahu bentuk liturgi yang digunakan atau nyanyian-nyanyian
yang biasa dinyanyikan saat ibadah. Aku, Ibu Pendeta, Majelis Jemaat, dan para
penatua duduk bersama-sama di konsistori. Kami berkumpul untuk berdoa, kemudian
seorang majelis memasuki ruang ibadah untuk membacakan berita jemaat.
Setelah itu, para penatua memasuki ruang ibadah sambil diiringi nyanyian
beserta dengan pemimpin ibadah.
Tikungan di depan gedung GMIH Lahairoi Pediwang |
Setelah
ibadah berakhir, seorang majelis kembali memberitahukan pengumuman yang
belum sempat dibacakan. Kemudian saat itu Ibu Pendeta berdiri untuk membacakan
surat dari Tim UPL STT Jakarta mengenai Mahasiswa CP I.
“Jadi,
mungkin Bapak dan Ibu telah melihat seorang gadis asing duduk bersama para
penatua di sana.” Ucap Ibu Pendeta sambil menunjuk ke arah tempat dudukku.
“Nona adalah mahasiswi praktik yang ditugasi oleh STT Jakarta untuk melayani di
GMIH Lahairoi Pediwang. Untuk lebih lanjut, mari kita berikan waktu bagi Nona
untuk memperkenalkan diri.”
Aku
berjalan sambil tersenyum menuju podium.
“Selamat
siang dan selamat hari Minggu, Bapak dan Ibu yang terkasih! Perkenalkan nama
saya Novriana Gloria Hutagalung. Saat ini memasuki semester lima di Sekolah
Tinggi Teologi Jakarta.” Ujarku. “Tujuan saya datang ke GMIH Lahairoi, selain
karena ditugaskan oleh kampus, juga untuk belajar bersama dengan jemaat di
Lahairoi ini. Adapun praktik akan berlangsung hingga tanggal 12 Agustus
nantinya. Tema praktik adalah Pelayanan Pemuda terhadap Masyarakat Majemuk.
Jadi kemungkinan saya akan banyak beraktivitas bersama pemuda, meskipun tidak
mustahil pula saya akan beraktivitas bersama jemaat dalam kebaktian lainnya.
Saya mohon bimbingan dari seluruh jemaat beserta majelis selama proses praktik
yang akan saya jalani di sini. Terima kasih. Tuhan Yesus memberkati.”
Setelah
ibadah berakhir, kami kembali berkumpul di konsistori dan berdoa.
Altar di dalam gedung GMIH Lahairoi Pediwang |
“Nona,
bisa pimpin ibadah di lingkungan pelayanan 5 nanti?” tanya Bapak Piel, yang
biasa disapa Bapak Waket.
“Jam
berapa, Bapak?” tanyaku.
“Nanti
sore. Jam lima sudah dilonceng. Ibadah dimulai jam enam sore.” Jawab beliau.
Aku mengangguk. Jantungku berdetak kencang. Apa yang akan aku khotbahkan?!
“Habis
ini kita ikuti kebaktian kaum wanita ya.” Kata Ibu Pendeta.
“Jam
berapa, Bu?”
“Sekarang.
Sebentar lagi kita pergi.”
Aku
pun buru-buru melangkah dari konsistori menuju pastori. Aku menuju dapur dan
makan siang karena tadi aku belum sempat sarapan.
Bahan
untuk renungan diambil dari Amsal 31. Pasal klasik dari Alkitab tentang istri
atau perempuan yang ideal. Kaum wanita diajak untuk mendiskusikan pasal
tersebut. Hanya beberapa orang saja yang menjawab. Yang lain terlihat takut atau
malu-malu.
Amsal
31 memang bagian Alkitab yang paling mudah dan ‘aman’ ketika berbicara tentang
perempuan. Itu yang melintas di benakku ketika mendengar pasal tersebut
disebutkan oleh Ibu Pendeta.
Benakku
masih saja memikirkan harus berbicara tentang apa di dalam renungan nanti.
Selain harus membiasakan diri dengan segala hal yang serba mendadak, aku juga
harus membiasakan diri disebut sebagai “Nona PPL”. Aku memutuskan untuk
mengambil Mazmur 56 sebagai bahan renungan nanti sore. Mata kuliah Homiletika yang
lalu benar-benar membantu karena aku harus tahu lebih dulu apa pesan yang ingin
aku sampaikan baru aku bisa menyusun khotbah.
Jam
lima sore setelah lonceng berbunyi, aku dijemput oleh Bapak Waket menuju
lingkungan pelayanan 5. Aku menunggu begitu lama.
“Nona,
sabar ya. Di sini biasa seperti ini.” ucap seorang bapak yang belakangan
kuketahui sebagai Ketua Penatua di lingkungan pelayanan V. Aku mengangguk
sambil tersenyum. Aku baru tahu ternyata pemimpin ibadahlah yang juga memilih
lagu untuk dinyanyikan karena aku tidak memilih lagu sama sekali. Bapak Penatua
yang membantuku memimpin ibadah.
Setelah menahbiskan ibadah, aku diam. Aku melirik Bapak Penatua. Untung saja beliau tanggap terhadap situasi dan kondisi.
"Mari kita menyanyikan lagu..." kata beliau.
Jantungku
berdebar kencang sekali. Bukan karena khotbah, bukan. Tetapi karena aku belum
tahu liturgi GMIH seperti apa. Ibadah pun berakhir. Kami duduk sambil dijamu oleh
tuan rumah keluarga Tobeoto-Dodengo dengan roti dan teh hangat. Aku diantar pulang oleh seorang penatua
perempuan. Ternyata hari itu begitu melelahkan. Ibu Pendeta belum pulang dari
ibadah rumah tangga. Aku duduk di dalam kamar sambil meluruskan kaki.
“Halo,
selamat malam!” teriak seseorang dari luar rumah.
Aku
buru-buru berlari keluar dan membuka pintu. Ternyata Bapak Waket yang datang.
“Ibu
Pendeta ada, Nona?” tanya beliau.
Aku
menggeleng. “Belum pulang, Bapak.” Jawabku. “Duduk dulu, Bapak.” Kebetulan di
teras rumah ada kursi-kursi plastik.
“Nona
asal dari mana?” tanya beliau.
“Dari
Batam, Bapak. Tapi orangtua saya dari Sumatera Utara.” Jawabku.
“Kok
bisa sampai di Halmahera sini?”
“Iya,
kampus yang tunjuk, Bapak. Jauh. Tadinya orangtua juga tidak mau karena
menganggap di sini terlalu jauh.”
“Iya,
ya. Sampai kapan di sini, Nona? Bagaimana Pediwang? Sepi?” tanya Bapak Waket
lagi.
Aku
tertawa.
“Iya,
Bapak. Sepi banget.” Keluhku. “Aku nggak suka yang sepi dan sunyi begini.”
“Iya,
ini kan karena belum bertemu dengan teman-teman pemuda. Nanti kalau sudah
bertemu dengan pemuda, pasti akan jalan-jalan ke sana ke mari.” Hibur Bapak
Waket.
Aku
mengangguk-angguk saja.
“Di
sini baru kemarin ini aman. Sebelumnya gereja kita netral, tidak mau ikut
(sinode) lama atau (sinode) baru. Tapi ada unsur politik juga. Di sana ada
mantan anggota dewan, jadi dia pakai kekuasaannya untuk mengatur gereja.” kata
Bapak Waket. “Malam Natal tahun lalu, kita lagi ibadah di gereja, ada yang
melempar batu dari luar. Pemuda dari gereja sebelah. Lantas ada jemaat kita
yang keluar. Hampir rusuh itu. Akan tetapi, kita di sini cegah biar jangan
sampai rusuh begitu. Bagaimanapun kita kan bersaudara. Kristen juga tidak
mengenal kekerasan, tetapi perdamaian.”
Aku
mengangguk setuju. “Benar sekali, Bapak. Hanya saja seringkali gereja
dipermainkan oleh segelintir orang demi kepentingan pribadi.”
“Benar
itu, Nona. Itu yang terjadi kemarin makanya gereja sampai pecah begini.
Sebenarnya kan permasalahannya itu, setiap jemaat akan menyetor tiga puluh persen uang ke
sinode. Tapi lihat, kantor sinode kayak gubuk begitu. Tidak jadi-jadi. Kayak
kebun saja. Lantas uang itu dikemanakan? Pemimpin yang di atas ini tidak pernah
lebih dulu memikirkan keadaan jemaat. Mereka di atas begitu, jemaat yang
tersiksa di bawah sini.”
Aku
mengangguk, kali ini bukan karena setuju, tetapi karena rasa prihatin. Itu yang
terjadi, bukan? Gereja dikuasai pendeta-pendeta, para majelis, atau penatua.
Gereja tidak lagi dikuasai oleh Roh Kudus. Gereja dipenuhi unsur politik di
sana sini. Siapa yang rugi? Jemaat! Tentu saja. Jemaat yang tidak tahu apa-apa
tertipu dengan segala toga atau stola yang dikenakan mereka yang disebut
pemimpin gereja itu. Prihatin. Hal ini yang semakin lama semakin membuatku
kehilangan rasa percaya terhadap gereja. Yang kutakuti, ke depannya akan semakin
banyak orang yang merasakan hal yang sama dan malah meninggalkan gereja. Padahal gereja seharusnya menjadi shelter, tempat yang bisa dipercaya ketika tidak ada lagi tempat di dunia ini yang layak untuk berlabuh dan mencari kenyamanan jiwa. Ternyata, gereja justru menjadi salah satu pihak yang menambah keresahan warga jemaatnya....
0 comments:
Post a Comment