Nona PPL

Day 4
29 Mei 2016

Hari Minggu tiba. Pada hari inilah aku akan diperkenalkan kepada jemaat. Jantungku berdebar tidak karuan. Hari ini juga kali pertama aku mengikuti ibadah di GMIH. Aku belum mencari tahu bentuk liturgi yang digunakan atau nyanyian-nyanyian yang biasa dinyanyikan saat ibadah. Aku, Ibu Pendeta, Majelis Jemaat, dan para penatua duduk bersama-sama di konsistori. Kami berkumpul untuk berdoa, kemudian seorang majelis memasuki ruang ibadah untuk membacakan berita jemaat. Setelah itu, para penatua memasuki ruang ibadah sambil diiringi nyanyian beserta dengan pemimpin ibadah.
Tikungan di depan gedung GMIH Lahairoi Pediwang

Setelah ibadah berakhir, seorang majelis kembali memberitahukan pengumuman yang belum sempat dibacakan. Kemudian saat itu Ibu Pendeta berdiri untuk membacakan surat dari Tim UPL STT Jakarta mengenai Mahasiswa CP I.
“Jadi, mungkin Bapak dan Ibu telah melihat seorang gadis asing duduk bersama para penatua di sana.” Ucap Ibu Pendeta sambil menunjuk ke arah tempat dudukku. “Nona adalah mahasiswi praktik yang ditugasi oleh STT Jakarta untuk melayani di GMIH Lahairoi Pediwang. Untuk lebih lanjut, mari kita berikan waktu bagi Nona untuk memperkenalkan diri.”
Aku berjalan sambil tersenyum menuju podium.

“Selamat siang dan selamat hari Minggu, Bapak dan Ibu yang terkasih! Perkenalkan nama saya Novriana Gloria Hutagalung. Saat ini memasuki semester lima di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.” Ujarku. “Tujuan saya datang ke GMIH Lahairoi, selain karena ditugaskan oleh kampus, juga untuk belajar bersama dengan jemaat di Lahairoi ini. Adapun praktik akan berlangsung hingga tanggal 12 Agustus nantinya. Tema praktik adalah Pelayanan Pemuda terhadap Masyarakat Majemuk. Jadi kemungkinan saya akan banyak beraktivitas bersama pemuda, meskipun tidak mustahil pula saya akan beraktivitas bersama jemaat dalam kebaktian lainnya. Saya mohon bimbingan dari seluruh jemaat beserta majelis selama proses praktik yang akan saya jalani di sini. Terima kasih. Tuhan Yesus memberkati.”
Setelah ibadah berakhir, kami kembali berkumpul di konsistori dan berdoa.
Altar di dalam gedung GMIH Lahairoi Pediwang

“Nona, bisa pimpin ibadah di lingkungan pelayanan 5 nanti?” tanya Bapak Piel, yang biasa disapa Bapak Waket.
“Jam berapa, Bapak?” tanyaku.
“Nanti sore. Jam lima sudah dilonceng. Ibadah dimulai jam enam sore.” Jawab beliau. Aku mengangguk. Jantungku berdetak kencang. Apa yang akan aku khotbahkan?!
“Habis ini kita ikuti kebaktian kaum wanita ya.” Kata Ibu Pendeta.
“Jam berapa, Bu?”
“Sekarang. Sebentar lagi kita pergi.”
Aku pun buru-buru melangkah dari konsistori menuju pastori. Aku menuju dapur dan makan siang karena tadi aku belum sempat sarapan.
Bahan untuk renungan diambil dari Amsal 31. Pasal klasik dari Alkitab tentang istri atau perempuan yang ideal. Kaum wanita diajak untuk mendiskusikan pasal tersebut. Hanya beberapa orang saja yang menjawab. Yang lain terlihat takut atau malu-malu.
Amsal 31 memang bagian Alkitab yang paling mudah dan ‘aman’ ketika berbicara tentang perempuan. Itu yang melintas di benakku ketika mendengar pasal tersebut disebutkan oleh Ibu Pendeta.
Benakku masih saja memikirkan harus berbicara tentang apa di dalam renungan nanti. Selain harus membiasakan diri dengan segala hal yang serba mendadak, aku juga harus membiasakan diri disebut sebagai “Nona PPL”. Aku memutuskan untuk mengambil Mazmur 56 sebagai bahan renungan nanti sore. Mata kuliah Homiletika yang lalu benar-benar membantu karena aku harus tahu lebih dulu apa pesan yang ingin aku sampaikan baru aku bisa menyusun khotbah.
Jam lima sore setelah lonceng berbunyi, aku dijemput oleh Bapak Waket menuju lingkungan pelayanan 5. Aku menunggu begitu lama.
“Nona, sabar ya. Di sini biasa seperti ini.” ucap seorang bapak yang belakangan kuketahui sebagai Ketua Penatua di lingkungan pelayanan V. Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku baru tahu ternyata pemimpin ibadahlah yang juga memilih lagu untuk dinyanyikan karena aku tidak memilih lagu sama sekali. Bapak Penatua yang membantuku memimpin ibadah.
Setelah menahbiskan ibadah, aku diam. Aku melirik Bapak Penatua. Untung saja beliau tanggap terhadap situasi dan kondisi.
"Mari kita menyanyikan lagu..." kata beliau.
Jantungku berdebar kencang sekali. Bukan karena khotbah, bukan. Tetapi karena aku belum tahu liturgi GMIH seperti apa. Ibadah pun berakhir. Kami duduk sambil dijamu oleh tuan rumah keluarga Tobeoto-Dodengo dengan roti dan teh hangat. Aku diantar pulang oleh seorang penatua perempuan. Ternyata hari itu begitu melelahkan. Ibu Pendeta belum pulang dari ibadah rumah tangga. Aku duduk di dalam kamar sambil meluruskan kaki.
“Halo, selamat malam!” teriak seseorang dari luar rumah.
Aku buru-buru berlari keluar dan membuka pintu. Ternyata Bapak Waket yang datang.
“Ibu Pendeta ada, Nona?” tanya beliau.
Aku menggeleng. “Belum pulang, Bapak.” Jawabku. “Duduk dulu, Bapak.” Kebetulan di teras rumah ada kursi-kursi plastik.
“Nona asal dari mana?” tanya beliau.
“Dari Batam, Bapak. Tapi orangtua saya dari Sumatera Utara.” Jawabku.
“Kok bisa sampai di Halmahera sini?”
“Iya, kampus yang tunjuk, Bapak. Jauh. Tadinya orangtua juga tidak mau karena menganggap di sini terlalu jauh.”
“Iya, ya. Sampai kapan di sini, Nona? Bagaimana Pediwang? Sepi?” tanya Bapak Waket lagi.
Aku tertawa.
“Iya, Bapak. Sepi banget.” Keluhku. “Aku nggak suka yang sepi dan sunyi begini.”
“Iya, ini kan karena belum bertemu dengan teman-teman pemuda. Nanti kalau sudah bertemu dengan pemuda, pasti akan jalan-jalan ke sana ke mari.” Hibur Bapak Waket.
Aku mengangguk-angguk saja.
“Di sini baru kemarin ini aman. Sebelumnya gereja kita netral, tidak mau ikut (sinode) lama atau (sinode) baru. Tapi ada unsur politik juga. Di sana ada mantan anggota dewan, jadi dia pakai kekuasaannya untuk mengatur gereja.” kata Bapak Waket. “Malam Natal tahun lalu, kita lagi ibadah di gereja, ada yang melempar batu dari luar. Pemuda dari gereja sebelah. Lantas ada jemaat kita yang keluar. Hampir rusuh itu. Akan tetapi, kita di sini cegah biar jangan sampai rusuh begitu. Bagaimanapun kita kan bersaudara. Kristen juga tidak mengenal kekerasan, tetapi perdamaian.”
Aku mengangguk setuju. “Benar sekali, Bapak. Hanya saja seringkali gereja dipermainkan oleh segelintir orang demi kepentingan pribadi.”
“Benar itu, Nona. Itu yang terjadi kemarin makanya gereja sampai pecah begini. Sebenarnya kan permasalahannya itu, setiap jemaat akan menyetor tiga puluh persen uang ke sinode. Tapi lihat, kantor sinode kayak gubuk begitu. Tidak jadi-jadi. Kayak kebun saja. Lantas uang itu dikemanakan? Pemimpin yang di atas ini tidak pernah lebih dulu memikirkan keadaan jemaat. Mereka di atas begitu, jemaat yang tersiksa di bawah sini.”

Aku mengangguk, kali ini bukan karena setuju, tetapi karena rasa prihatin. Itu yang terjadi, bukan? Gereja dikuasai pendeta-pendeta, para majelis, atau penatua. Gereja tidak lagi dikuasai oleh Roh Kudus. Gereja dipenuhi unsur politik di sana sini. Siapa yang rugi? Jemaat! Tentu saja. Jemaat yang tidak tahu apa-apa tertipu dengan segala toga atau stola yang dikenakan mereka yang disebut pemimpin gereja itu. Prihatin. Hal ini yang semakin lama semakin membuatku kehilangan rasa percaya terhadap gereja. Yang kutakuti, ke depannya akan semakin banyak orang yang merasakan hal yang sama dan malah meninggalkan gereja. Padahal gereja seharusnya menjadi shelter, tempat yang bisa dipercaya ketika tidak ada lagi tempat di dunia ini yang layak untuk berlabuh dan mencari kenyamanan jiwa. Ternyata, gereja justru menjadi salah satu pihak yang menambah keresahan warga jemaatnya....
Location: Pediwang, North Kao, North Halmahera Regency, North Maluku, Indonesia

0 comments:

Post a Comment