Togolioa dan Kupa Kupa

Day 6
31 Mei 2016

Kupa Kupa di terik matahari

Di penghujung bulan Mei ini, setengah harinya kuhabiskan di Pantai Kupa Kupa. Puas sudah, berbagi keindahan bersama teman-teman di dunia maya. Langit di sini begitu penuh dengan keajaiban. Awan-awan selalu indah nan cerah. Akhirnya, rasa pamerku pun terpuaskan.


Awan-awan penuh keajaiban
Pada satu titik, aku merasa sedikit bersalah. Maktua, kakak dari Mama, bercerita jika Bapak di rumah merasa sedih karena aku bahkan tidak mengabari beliau jika aku sudah tiba di Halmahera. Memang sejak awal tahun ini aku memiliki kekecewaan terhadap Bapak karena orangtuaku adu mulut ketika aku akan kembali ke Jakarta karena libur Natal sudah usai. 
Aku memang jarang menghubungi orang rumah karena kami bukan tipe keluarga yang showing off. Paling hanya bertukar kabar sekali dua kali dengan Mama. Tetapi, ucapan Maktua benar-benar menamparku. Aku memberitahu beberapa dosen yang sudah kuanggap seperti ayah kandungku saat aku sudah tiba di Halmahera Kamis yang lalu, sementara bapak kandungku sendiri tidak kuberitahu. Detik itu juga aku mengirim pesan singkat kepada Bapak, namun tidak dibalas. Kutunggu hingga keesokan harinya, tetap tiada balasan. Akhirnya, aku menghubungi Mama, menanyakan kenapa aku sudah SMS kepada Bapak namun tidak dibalas. Ternyata, aku kurang berbasa basi. Aku mengirimi Bapak pesan yang lain. Akhirnya beliau membalas. Detik itu juga, aku merasa luka di hatiku kering. Kekecewaanku hilang.
Untuk memenuhi undangan yang diberikan oleh Bapak Bendahara Sinode, aku berangkat dari Pediwang ke Kupa Kupa. Aku akan bermalam di tempat Helda karena acara akan diadakan pada malam hari. Jarak yang jauh dan tidak adanya kendaraan tidak memungkinkanku langsung pulang malam itu juga. Aku menumpang di mobil Bapak Paparang, bendahara jemaat Lahairoi. Beliau akan mengantarkan anak perempuannya kursus Bahasa Inggris dan komputer di kota.
"Kenapa harus kursus di Tobelo, Bapak? Kan jauh." kataku.
“Di Pediwang nggak ada tempat kursus.” Ujar beliau. “Kalau ada sudah saya buat di sana, meski mahal sekalipun.”
“Kok begitu, Bapak?” tanyaku.
“Iya, ongkos untuk mengantar ke kota saja sudah berapa. Sama saja kalau kursus mahal di Pediwang.”
Aku manggut-manggut saja.
Untuk beberapa saat kami bertiga hanyut dalam keheningan. Aku begitu menikmati perjalanan.
“Ini Desa Togolioa. Dulu waktu kerusuhan di sepanjang jalan ini penuh dengan mayat orang Islam yang mati dibunuh.” Ucap Pak Paparang tiba-tiba.
Aku terperanjat.
“Orang Islam yang bunuh orang Kristen, Pak?” tanyaku.
“Nggak. Kristen yang bunuh Islam. Ini kan desa mayoritas Muslim. Jadi waktu kerusuhan dari Ambon merembet sampai ke sini, desa ini jadi bulan-bulanan kampung-kampung Kristen dekat sini.”
Aku masih terdiam. Dalam hatiku bertanya, apa maksud beliau tiba-tiba buka bicara soal kerusuhan?
“Waktu itu kita kerja. Di dekat sini ada kuburan massal. Jadi lubang besar digali, mayat-mayat diangkut pakai ekstavakator. Saya waktu itu bantu  bersihkan.” Kata Pak Paparang dengan nada sedikit sedih. “Bisa damai, kenapa harus rusuh?”
Satu pertanyaan yang kurasa tidak menuntut jawaban. Aku merasakan kesedihan yang terdengar di antara kata-kata yang terucap itu.
Masjid di Desa Togolioa di suatu senja
Kami pun tiba di Kupa Kupa. Bapak Paparang menurunkanku di seberang GMIH Bethel. Tak berapa lama, Helda menjemputku. Ia menetap bersama keluarga seorang majelis jemaat. Keluarga menyambutku  dengan sangat ramah. Om dan Tante mengajak kami bercerita.
“Itu kan sinode pecah karena pemimpin di atas korupsi semuanya. Uang yang dari setiap jemaat sebesar tiga puluh persen itu mereka langsung bagi-bagi di sana. Harusnya uang yang masuk itu milyaran. Tapi lihat, kantor sinode aja masih begitu.” Cerocos Om E.
“Milyaran, Om?!” tanyaku kaget.
“Iya! Jemaat ada empat ratusan. Berapa itu hitung sendiri.”
Lagi lagi, uang dan kuasa menggantikan posisi Allah di dalam gereja. Betapa menyedihkan. Benarlah kata Alkitab, akar segala kejahatan adalah uang.
Ketika hari menjelang sore, Pendeta F yang melayani di jemaat Bethel mengunjungi rumah Om E untuk berbicara dengan Helda. Aku juga berkenalan dengan Pendeta F.
“Bagaimana di Pediwang?” tanya pendeta muda itu.
“Sepiiiii..”
Seluruh orang yang ada di ruang makan itu tertawa. Sering kali aku diledek karena tempat praktikku yang paling berjauhan dengan yang lain.
“Tapi di sana banyak ikan.” Kata Pak F lagi.
“Iya, benar! Ikan segar banyak.” Sahutku.
“Puas-puasin makan ikan segar. Nanti di Jakarta nggak dapat lagi yang begitu.” Saran Pak F.
“Kalau di Jakarta, ikan sudah berapa kali mati baru masuk penggorengan.” Sambung Om E. Kami tertawa.
Ketika hari menjelang sore, aku, Helda, Kak Lheis, dan Tante berjalan menuju Pantai Kupa Kupa yang terkenal sebagai obyek wisata di Halmahera Utara. Kami berjalan kira-kira satu kilometer jauhnya. Akan tetapi, keindahan yang kami dapatkan sebanding dengan perjalanan yang harus ditempuh. Indah sekali. Awan seperti langit-langit surga.
Pantai Kupa Kupa
Kami duduk di tempat berjemur sambil menikmati pisang goreng. Sederhana. Hal ini biasa mereka jumpai setiap hari. Akan tetapi, warga kota butuh harga yang sangat mahal agar bisa menikmati momen ‘biasa’ seperti yang kami dapatkan di Kupa Kupa sore itu.
Location: Kupa Kupa, South Tobelo, North Halmahera Regency, North Maluku, Indonesia

0 comments:

Post a Comment