26 Mei 2016
Hanya tinggal beberapa jam menuju keberangkatan ke Manado. Saya masih bersiap-siap, bahkan masih mencari beberapa perlengkapan yang saya rasa saya butuhkan di sana nantinya.
‘Ugh, berat sekali.’ Saya bergumam ketika berusaha
menyeret keluar koper yang akan saya bawa. ‘Ini
sih sudah lebih dari 15 kilo.’
Ada
sedikit rasa khawatir timbul dalam hati saya karena load yang disediakan oleh Wings Air, yang akan saya dan dua orang
teman lainnya tumpangi dari Manado menuju Kuabang, hanya 10 kilogram saja.
Tentu untuk bagasi yang overload akan
dikenakan sanksi. Dan itu berarti uang saya yang terbatas akan semakin
dipangkas.
Ketika
saya sedang mencari taksi online
menuju Stasiun Gambir, hujan turun. Saya merasa
begitu kesal. Selain karena tarif taksi akan naik drastis, barang-barang
saya juga bisa basah. Saya membutuhkan kira-kira lima belas menit hingga taksi
tersebut menjemput saya ke kos.
Badan
saya sudah gemetar karena saya belum makan nasi dari pagi hari. Timbul dalam
benak saya untuk mampir di warung makan yang ada di stasiun nantinya. Akan
tetapi, melihat perjalanan menuju stasiun yang begitu macet, saya mengurungkan
niat saya tersebut. Saya sangat takut tidak dapat mengejar waktu menuju
bandara. Ketika saya tiba di shelter Damri
yang ada di stasiun, sebuah Damri baru saja berangkat menuju bandara.
‘Berarti saya harus menunggu
lagi.’
Saya
membayarkan ongkos taksi dan menyeret koper saya sebisa mungkin ke dalam bagasi
Damri.
“Terminal
berapa?” tanya petugas Damri.
“Saya
tidak tahu.”
“Maskapai
apa?”
“Garuda?”
Saya
mengangguk-angguk saja. “Sudah mau berangkat belum, Pak? Saya mau ke dalam dulu
sebentar.”
“Belum
mau berangkat. Silakan saja. Jangan lama-lama.”
Dengan
setengah berlari saya masuk ke stasiun dan mencari warung makan. Sebentar saja
saya sudah kembali ke shelter Damri.
“Di
dalam boleh makan nggak, Pak?” tanya saya lagi kepada petugas.
“Boleh
saja.”
Saya
menghabiskan makan siang di dalam bus sambil berharap tidak terlambat tiba di
bandara. Ini adalah pertama kalinya saya terbang menggunakan maskapai Garuda
Airlines. Sungguh saya berterima kasih kepada GKI Kayu Putih yang telah
mengasuh saya dua semester belakangan ini. GKI Kayu Putih pula yang membiayai
tiket saya ke Tobelo.
Saya
terbangun dari tidur saya ketika bus sudah memasuki wilayah bandara
Soekarno-Hatta. Ternyata terminal 2F masih cukup jauh dari terminal 1A/B/C.
Selama ini saya hanya berlalu lalang di terminal 1. Saya masuk ke dalam
terminal 2F dengan menyeret koper yang ternyata sangat berat. Saya mencari
sosok Alfa, kakak kelas dari angkatan 2012 dan Helda, teman sekelas saya, yang
juga akan melakukan Collegium Pastorale
di Halmahera Utara.
Kami
bertiga terkejut sekali. Tidak menyangka akan memakan biaya sebesar itu.
Diam-diam dalam hati timbul rasa panik. Bagasi yang diberikan oleh maskapai
sebesar 20 kg. Bagasi Helda mencapai 18,8 kg. Bagasi saya mencapai 21, 1 kg.
Bagasi Alfa mencapai 25 kg! Kami semua telah melewati kuota bagasi yang
diberikan oleh maskapai Wings Air nantinya yang hanya memberikan 10 kg!
Hati
saya sangat sedih karena selama belasan minggu ini harus berjauhan dari
orang-orang yang saya sayangi di Jakarta. Seluruh teman-teman sekelas saya yang
sudah seperti keluarga terpencar ke berbagai penjuru di Indonesia. Ada rasa
hangat yang timbul melihat berbagai motivasi dan dorongan positif yang
diberikan oleh teman dan keluarga melalui kolom komentar di akun Facebook milik
saya.
Kami
tiba di bandara Sam Ratulangi kira-kira pukul sebelas WITA. Kami mengambil
bagasi dan berjalan menuju tempat transit. Kami bertiga dicegat petugas.
“Maaf,
sebentar lagi bandara akan berhenti beroperasi dan akan kembali beroperasi pukul
empat pagi nanti.” Ujar petugas tersebut.
“Oalaaah.
Bagaimana ini, Bang?” tanyaku kepada Alfa.
“Kita
cari tempat di luar saja.” Jawab Alfa. Kami pun berjalan ke luar menyusuri
emperan bandara. Ternyata hampir semua toko tutup jam dua belas malam.
“Memang
hanya Jakarta yang tidak pernah mati.” Kataku. Akhirnya kami menemukan sebuah
minimarket yang buka 24 jam. Kami pun memasuki minimarket tersebut dan
meletakkan koper-koper kami karena mereka memiliki meja di dalam toko. Alfa dan
Helda sudah sempat tidur di dalam pesawat menuju Manado sebelumnya. Aku tidak
dapat tidur karena perutku sudah mual sekali. Anti mabokku malah terbawa ke
koper. Alhasil, setengah perjalanan saja jet
lag sudah kualami.
Aku
menyempatkan untuk tidur di bangku yang ada dalam minimarket hingga aku
dibangunkan pukul empat pagi. Kemudian kami check
in ke konter Wings Air dan masing-masing kami membayar denda over load.
Perjalanan
dengan pesawat kecil sungguh menegangkan. Pesawat sering kali oleng ke sana
sini membuat perutku semakin mual. Akan tetapi, syukur kepada Allah kami tiba
dengan selamat di bandar udara Kuabang.
Bandara
tersebut kecil sekali dan terbuka. Tidak ada kipas maupun mesin pendingin. Kami
melihat petugas mengeluarkan bagasi. Om Donny, seorang kerabat Helda, telah
menjemput kami di bandara tersebut.
Ini
untuk pertama kalinya saya menginjak bagian timur Indonesia dengan perbedaan
waktu dua jam. Ada sedikit rasa asing dalam diri saya ketika berada di tempat
tersebut. Sangat sunyi. Padahal bandara biasanya merupakan tempat yang sibuk.
Tentu ada banyak hal yang berbeda dari Jakarta. Rasa takut saya terus muncul
hingga kami melintasi jalan dan aroma laut pun tercium. Senyum pun menghiasi
wajah ketika melihat laut yang berjarak sangat dekat. The journey is about to start…
0 comments:
Post a Comment