Pantai Wayabailo




Untuk kedua kalinya aku memimpin ibadah di GMIH Lahairoi Pediwang. Aku menyadari bahwa aku begitu cepat terbiasa dengan jemaat ini. Bahaya ketika membiasakan sesuatu adalah kita tidak lagi mempersiapkan waktu khusus bagi pelayanan kita. Bagiku membiasakan diri sama saja dengan berhenti belajar karena ujung-ujungnya aku akan menganggap enteng hal-hal yang harus kukerjakan itu.

Ibadah Minggu yang selalu berganti mengikuti liturgi GMIH yang diatur per minggu menjadi satu hal yang mencegahku untuk menganggap mudah tugasku di gereja. Aku harus mengecek tata ibadah dengan teliti agar tidak salah memimpin.

Sejak dulu bagi diriku selalu ada yang “berjiwa” dalam setiap nyanyian jemaat. “Jiwa” itu mampu membuat bulu kudukku merinding karena rasa takjub yang dirasakan oleh alam bawah sadarku. Setiap kali jemaat di mana saja bernyanyi, aku lebih suka diam dan mendengarkan nyanyian itu. Aku akan lebih mampu meresapi lirik dan makna di balik nyanyian pujian tersebut. Jika beberapa teman berterima dengan simbol dan ikon, maka untukku cukuplah satu jemaat yang bernyanyi, maka seketika aku akan berada dalam dimensi mysterium tremendum et fascinans, dimensi takut sekaligus kagum, dimensi yang penuh misteri, dimensi yang lebih dekat kepada Sang Misteri.

Ketika mendengar berita jemaat dibacakan tadi, aku tidak mendengar ada namaku disebut. Hal itu berarti aku bebas dari tugas pelayanan hari ini. Sehabis makan siang, Kakak Eka dan Naken mengajakku di pantai.

“Mari ke Wayabailo. Bosan cuma di rumah. Mari bajalang (jalan-jalan).” Ajak Kak Eka.

Aku pun mengiyakan permintaan Kak Eka karena mati lampu dan aku juga merasa sangat bosan hanya di pastori saja seharian. Aku belum pernah ke pantai yang terkenal indah di Pediwang itu.

Aku menyiapkan berbagai peralatan turis di tas kecilku, seperti tongkat narsis (tongsis), sunblock, syal untuk kupakai sebagai penutup kepala, kacamata hitam, dan tentunya ponselku.

Kami berjalan jauh. Kemudian Kak Eka berhenti di makam yang ternyata adalah makam mendiang suaminya. Almarhum Kakak David Siring meninggal awal bulan Mei yang lalu akibat kecelakaan ketika pernikahan Kakak David dan Kakak Eka baru saja berlangsung tiga bulan. 

Kak Eka membersihkan makam itu dari debu dan kotoran-kotoran lain. Aku dan Naken, adik perempuannya, hanya duduk di atas makam yang telah dibangun itu. Setelah beberapa lama di tempat itu, kami pun melanjutkan perjalanan kami ke pantai Wayabailo.

Ah, aku tercengang melihat keindahan di depan mataku. Air yang surut membuat keindahan semakin terlihat. Pantai sangat bersih dan air sangat jernih. Cahaya matahari membuat dasar laut terlihat saking jernihnya.










Benar sudah ucapan Apner, seorang pemuda, “Kalau sudah sampai di Wayabailo, tidak akan mau pulang lagi.”
Ah, hari itu aku jatuh cinta kepada Pediwang.
Location: Pediwang, North Kao, North Halmahera Regency, North Maluku, Indonesia

0 comments:

Post a Comment