Allah Bukan Finalitas


Aku meyakini bahwa setiap orang berada dalam proses menuju 'metanoia' - perubahan, pertobatan, life-changing - mikro 'metanoia' di sepanjang hidupmu. Eventually, pada akhirnya, aku akan sampai di sana, di 'metanoia' itu. Namun, hal yang perlu kuingat: Allah ada bersama denganku dalam perjalanan menuju  ke 'metanoia' itu.

Tadinya, kukira Allah adalah tujuan akhirku. Ia menunggu di garis finish sambil menyemangatiku bak seorang pemandu semangat yang tak kenal lelah memberikan sukacita. Akan tetapi, aku tak lagi melihat seperti itu. Allah tuurt bersamaku dalam peziarahan menuju 'metanoia'.

Lalu, ketika aku mengimani bahwa Allah senantiasa bersamaku, finalitas tu bukan semata-mata untuk untuk disapa. Bukan sekadar tiba di garis finish - berjumpa dengan Allah di sana - lalu selesai.

Ketika aku menyadari Allah bersamaku dan aku bersama dengan Allah, garis finish bukan lagi sesuatu yang absolut. Yang terpenting ialah aku dan Allah dan Allah dan aku.

Jakarta, 11 Februari 2017


Read More

Karena Tidak Memilih Adalah Sebuah Pilihan


Kenyataan hidup berteriak mencari telinga yang peka dan mau mendengar
Kemerosotan hidup berlarian mencari mata yang terbuka untuk melihat
Perseteruan hidup mengoceh mencari tangan yang mau diulurkan untuk menawarkan damai
Jalanan yang dijejaki kebencian hidup merintih mencari kaki yang bersedia berjalan di dalam kasih
Read More

It All Makes Sense

Day 12
7 Juni 2016

"Dwi Gabriella"
Bapak dan Ibu Pendeta telah tiba malam kemarin. Pagi itu aku membuatkan dua gelas susu bagiku dan Helda.
“Saya pamit pulang ya, Bapak dan Ibu.” Kata Helda. Ia harus melakukan kunjungan jemaat pagi ini. Kami berdua berjalan ke muka jalan. Tanpa menunggu lama sebuah oto pun lewat.
Nang, aku pulang ya.” Katanya.
“Oke, hati-hati ya.” Jawabku.
Tak berapa lama aku masuk ke dalam pastori, Bapak Waket datang ke pastori.
“Novri, kamu bersiap ya. Ikut dengan Bapak Waket.” Kata Bapak Pendeta.
“Ikut ke mana, Bapak?” tanyaku.
“Ke evaluasi pemimpin jemaat di Tunuo sana. Ini Bapak Waket sudah datang.” Jawab beliau.
Buru-buru aku berganti pakaian dan mengambil sepatuku. “Mari Bapak kita berangkat.”
“Wah, Nona, sudah selesai?” tanya Bapak Waket.
“Sudah, Bapak.” Jawabku.
“Kalau masih anak gadis sebentar saja sudah selesai, Bapak Waket. Yang lama itu ibu-ibu.” Sahut Bapak Pendeta. Kami tertawa.
GMIH Eppata terdapat di Desa Tunuo, yang dapat dicapai hanya melalui jalan rusak itu. Aku baru tahu hari ini jika masih ada banyak desa di ujung jalan setapak yang kukira sudah buntu. GMIH Eppata tidak memiliki pendeta full time, hanya majelis jemaat dan penatua yang menanggungjawabi penatalayanan sehari-hari.
Read More

Pediwang-Leleoto-Pediwang

Day 11
5 Juni 2016

Sabtu sore aku berkutat dengan bahan khotbah yang akan kukhotbahkan besok harinya. Aku merasa sangat gugup. Berkali-kali aku membolak-balik buku berisi liturgi GMIH yang berbeda setiap minggu gerejawi. Aku juga memilih lagu-lagu yang cocok. GMIH tidak memiliki leksionari sehingga kita bebas memilih topik atau tema atau perikop yang akan menjadi khotbah pada hari Minggu. Pencarian dan penentuan topik serta perikop itu menjadi tantangan tersendiri. Akan tetapi, mata kuliah Homiletika dan Latihan Khotbah memang sangat membantu. Untuk saat ini aku mencari dulu pesan apa yang ingin aku sampaikan kemudian aku mencari teksnya.
Senja di halaman pastori Sabtu itu

Ini adalah kali pertama aku menaiki mimbar. Saat proses Pembelajaran Jemaat yang lalu, gereja tempat aku berjemaat tidak mengizinkanku berkhotbah di ibadah umum sehingga aku pun belum merasakan sensasinya. Selama proses menyiapkan naskah khotbah juga menjadi tantangan tersendiri bagiku. Aku disadarkan bahwa melayani membutuhkan pengudusan diri. Itulah kodeku setiap kali pelayanan. Aku tidak dapat berkhotbah tentang sesuatu yang aku sendiri tidak mampu lakukan, mengampuni misalnya. Aku tidak mungkin meminta orang lain harus mengampuni sementara aku sendiri tidak mampu berlaku seperti itu.
Read More