Persoalan ekonomi sejak zaman dahulu sudah menjadi momok
yang tumbuh merambat memasuki setiap celah kehidupan manusia dan
menghancurkannya. Bahkan di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama bukan satu atau
dua kisah yang menyangkutpautkan persoalan ekonomi dalam kehidupan dan ziarah
mereka di muka bumi ini.
Sebut saja contohnya, Naomi dan menantunya, Rut, dimana
mereka berjuang untuk tetap hidup setelah ditinggal mati oleh suami mereka
masing-masing. Juga seorang Janda dari Sarfat, yang didatangi oleh Elia untuk
dimintai makanan, sementara makanan mereka yang tersisa hanyalah segenggam tepung
dan sebuli minyak.
Lalu, seorang Janda yang ditinggal mati oleh suaminya yang
adalah seorang nabi, mengadukan perkaranya kepada Elisa. Ibu ini memiliki
hutang yang tak bisa dilunasinya. Penagih hutang telah untuk mengambil kedua
anaknya sebagai budak.
Dalam kitab Perjanjian Baru, pasti kita
sudah sering mendengar tentang Janda yang memberikan dua peser –uang terakhir
yang dimilikinya- sebagai persembahan. Ia bahkan tidak peduli apa yang akan
dimakannya nanti. Lalu, kita mundur ke kisah paling terkenal yang menjadi
pembuka dalam Injil Matius dan Lukas, kelahiran Tuhan Yesus. Adakah Yusuf dan
Maria hidup di dalam kemewahan? Tidak! Bahkan Juruselamat tidak dilahirkan
dalam sebuah ruangan.
Hampir semuanya memiliki kesamaan,
memiliki masalah dalam perekonomian. Tetapi bukan hanya itu, pahlawan-pahlawan
iman ini memiliki kesamaan lain. Yakni penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Kepasrahan yang berujung pada runtuhnya keegoisan dan gengsi, merendahkan diri
dan meneguhkan imannya di dalam pengharapan. Manusia tidak akan bisa bertahan
di dalam kehidupan, tetapi Tuhan adalah Pemberi kehidupan itu sendiri. Pahlawan
ini melanjutkan kehidupannya dengan curahan berkat dari Allah.
Lihat bagaimana manusia pada zaman akhir ini. Berapa banyak
usaha bunuh diri yang dilakukan karena stress akibat tidak memiliki uang?
Berapa banyak kejahatan yang dilakukan karena uang? Berapa banyak sengketa dan
perpecahan yang diakibatkan oleh harta?
Anehnya, banyak di antara orang-orang ini pasti pernah
berkata demikian,
“Semua akan indah pada waktunya.”
“Rejeki tak lari kemana.”
“Tetaplah berharap kepadaNya.”
“Marroha na marpanghirimon.” Kata orang Batak.
Lantas, orang-orang inilah yang tidak mengimani apa yang
diucapkannya, apa yang didoakannya.
Kaya bukan berarti bahagia. Memiliki uang tak berarti
memiliki segalanya. Apakah kita orang yang susah? Mari kita cek bersama.
Ada rumah untuk ditempati? Ada. Bisa makan
tiga kali sehari? Bisa. Memiliki tempat tidur? Ya. Memiliki peralatan
elektronik seperti TV atau ponsel? Ya. Bukankah kita sudah kaya?
Sekali lagi, apakah kita orang yang
susah ekonomi? Atau
kita hanya bersusah hati?
0 comments:
Post a Comment