Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku.
Orang saleh ini memiliki seluruh kesejahteraan terbaik di
dunia. Nabi Ayub hidup dalam kelimpahannya. Ia memiliki keluarga yang
sejahtera, lading yang luasnya tak terkira, hamba-hamba yang setia, ternak
domba yang terpelihara. Bahkan kesempurnaannya membuat Lucifer iri terhadapnya.
Iblis mendatangi Tuhan dan akhirnya Tuhan mengizinkan Ayub
untuk dicobai. Dalam, sekejap, roda kehidupan berputar 180 derajat. Ia
kehilangan segala kepunyaannya, bahkan hampir kehilangan nyawanya.
Dalam ziarah kehidupan Ayub, ia menanyai Tuhan, apa yang
sudah dilakukannya hingga membuatnya harus menanggung cobaan sedemikian rupa.
Ia bergumul dalam ujian yang begitu berat. Mencari-cari jawaban, mengapa harus
dirinya yang menjadi sasaran ujian sang Pencipta. Ia jatuh ke dalam keluh kesah
yang panjang dan ketinggian hati yang membuatnya merasa tidak berdosa.
Ayub yang tadinya tak bercacat akhirnya menjadi berdosa
karena meninggikan diri. Kemudian Tuhan menantang dan menegur Ayub, membuatnya
merendahkan diri dan diberkati LEBIH dari sebelumnya!
“Tuhanlah yang memberi, Tuhanlah yang mengambil; Terpujilah
nama Tuhan!” (Ayub 1 : 21b)
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, sanagtlah sulit untuk
melakukan hal ini. Butuh hati yang besar dan lapang untuk bersyukur di tengah
kesulitan. Benar-benar membutuhkan tenaga ekstra dan pikiran yang jernih untuk
bsia mencari keindahan di tengah kehancuran yang dibawa oleh badai kehidupan.
Namun, hal itu selalu membuat hal menjadi lebih baik.
Membuat perasaan lebih nyaman dan tenteram karena kita tahu, Tuhan mengenal
kita lebih dari siapapun dan tak akan pernah meninggalkan kita.
Menjadi seperti Ayub–bersyukur dalam keadaan sulit–memang
tidak mudah, tetapi Tuhan sendirilah yang akan memampukan kita.
Memulai dari nol memang menyakitkan, tetapi Tuhan yang akan
menguatkan.
God loves you all.
0 comments:
Post a Comment