It All Makes Sense

Day 12
7 Juni 2016

"Dwi Gabriella"
Bapak dan Ibu Pendeta telah tiba malam kemarin. Pagi itu aku membuatkan dua gelas susu bagiku dan Helda.
“Saya pamit pulang ya, Bapak dan Ibu.” Kata Helda. Ia harus melakukan kunjungan jemaat pagi ini. Kami berdua berjalan ke muka jalan. Tanpa menunggu lama sebuah oto pun lewat.
Nang, aku pulang ya.” Katanya.
“Oke, hati-hati ya.” Jawabku.
Tak berapa lama aku masuk ke dalam pastori, Bapak Waket datang ke pastori.
“Novri, kamu bersiap ya. Ikut dengan Bapak Waket.” Kata Bapak Pendeta.
“Ikut ke mana, Bapak?” tanyaku.
“Ke evaluasi pemimpin jemaat di Tunuo sana. Ini Bapak Waket sudah datang.” Jawab beliau.
Buru-buru aku berganti pakaian dan mengambil sepatuku. “Mari Bapak kita berangkat.”
“Wah, Nona, sudah selesai?” tanya Bapak Waket.
“Sudah, Bapak.” Jawabku.
“Kalau masih anak gadis sebentar saja sudah selesai, Bapak Waket. Yang lama itu ibu-ibu.” Sahut Bapak Pendeta. Kami tertawa.
GMIH Eppata terdapat di Desa Tunuo, yang dapat dicapai hanya melalui jalan rusak itu. Aku baru tahu hari ini jika masih ada banyak desa di ujung jalan setapak yang kukira sudah buntu. GMIH Eppata tidak memiliki pendeta full time, hanya majelis jemaat dan penatua yang menanggungjawabi penatalayanan sehari-hari.
Read More

Pediwang-Leleoto-Pediwang

Day 11
5 Juni 2016

Sabtu sore aku berkutat dengan bahan khotbah yang akan kukhotbahkan besok harinya. Aku merasa sangat gugup. Berkali-kali aku membolak-balik buku berisi liturgi GMIH yang berbeda setiap minggu gerejawi. Aku juga memilih lagu-lagu yang cocok. GMIH tidak memiliki leksionari sehingga kita bebas memilih topik atau tema atau perikop yang akan menjadi khotbah pada hari Minggu. Pencarian dan penentuan topik serta perikop itu menjadi tantangan tersendiri. Akan tetapi, mata kuliah Homiletika dan Latihan Khotbah memang sangat membantu. Untuk saat ini aku mencari dulu pesan apa yang ingin aku sampaikan kemudian aku mencari teksnya.
Senja di halaman pastori Sabtu itu

Ini adalah kali pertama aku menaiki mimbar. Saat proses Pembelajaran Jemaat yang lalu, gereja tempat aku berjemaat tidak mengizinkanku berkhotbah di ibadah umum sehingga aku pun belum merasakan sensasinya. Selama proses menyiapkan naskah khotbah juga menjadi tantangan tersendiri bagiku. Aku disadarkan bahwa melayani membutuhkan pengudusan diri. Itulah kodeku setiap kali pelayanan. Aku tidak dapat berkhotbah tentang sesuatu yang aku sendiri tidak mampu lakukan, mengampuni misalnya. Aku tidak mungkin meminta orang lain harus mengampuni sementara aku sendiri tidak mampu berlaku seperti itu.
Read More

Togolioa dan Kupa Kupa

Day 6
31 Mei 2016

Kupa Kupa di terik matahari

Di penghujung bulan Mei ini, setengah harinya kuhabiskan di Pantai Kupa Kupa. Puas sudah, berbagi keindahan bersama teman-teman di dunia maya. Langit di sini begitu penuh dengan keajaiban. Awan-awan selalu indah nan cerah. Akhirnya, rasa pamerku pun terpuaskan.

Read More

Nona PPL

Day 4
29 Mei 2016

Hari Minggu tiba. Pada hari inilah aku akan diperkenalkan kepada jemaat. Jantungku berdebar tidak karuan. Hari ini juga kali pertama aku mengikuti ibadah di GMIH. Aku belum mencari tahu bentuk liturgi yang digunakan atau nyanyian-nyanyian yang biasa dinyanyikan saat ibadah. Aku, Ibu Pendeta, Majelis Jemaat, dan para penatua duduk bersama-sama di konsistori. Kami berkumpul untuk berdoa, kemudian seorang majelis memasuki ruang ibadah untuk membacakan berita jemaat. Setelah itu, para penatua memasuki ruang ibadah sambil diiringi nyanyian beserta dengan pemimpin ibadah.
Tikungan di depan gedung GMIH Lahairoi Pediwang

Setelah ibadah berakhir, seorang majelis kembali memberitahukan pengumuman yang belum sempat dibacakan. Kemudian saat itu Ibu Pendeta berdiri untuk membacakan surat dari Tim UPL STT Jakarta mengenai Mahasiswa CP I.
“Jadi, mungkin Bapak dan Ibu telah melihat seorang gadis asing duduk bersama para penatua di sana.” Ucap Ibu Pendeta sambil menunjuk ke arah tempat dudukku. “Nona adalah mahasiswi praktik yang ditugasi oleh STT Jakarta untuk melayani di GMIH Lahairoi Pediwang. Untuk lebih lanjut, mari kita berikan waktu bagi Nona untuk memperkenalkan diri.”
Aku berjalan sambil tersenyum menuju podium.
Read More

Keajaiban Pediwang


Hari 3 
28 Mei 2016

Hampir seharian kuhabiskan untuk berbaring di tempat tidur. Jet lag yang kualami begitu luar biasa. Sakit kepala, mual, dan nyeri di seluruh badan. Tidur yang tidak teratur semenjak memasuki bulan Mei karena mengerjakan UAS serta belum terbiasanya tubuhku dengan perbedaan waktu dua jam membuat segalanya menjadi lebih runyam.
Sejenak aku begitu menyukai tempat ini sekaligus membencinya. Ada satu hal yang kurang dari tempat ini: suara. Sepi. Sepi sekali, terutama di siang hari. Di rumah hanya ada Bu Pendeta Anita. Bapak Pendeta baru mengalami kecelakaan beberapa minggu yang lalu sehingga sampai hari ini beliau masih di Tobelo agar akses kesehatan lebih mudah didapatkan.
Di siang hari, tidak ada suara TV karena memang keluarga Bapak dan Ibu Pendeta Saya-Leaua baru saja dipindahtugaskan ke Pediwang empat bulan yang lalu. Hanya ada deru kendaraan sesekali. Keheningan ini membuatku pusing. Aku tidak terbiasa dengan tempat yang sunyi. Aku mendapatkan energiku dari orang-orang yang berada di sekitarku. Aku akan merasa sangat lemas apabila aku jauh dari keramaian.
Ketiadaan sinyal internet semakin menambah rasa sepi yang kurasakan. Aku hanya bisa berkomunikasi dengan orang-orang terdekatku melalui SMS saja. Untungnya mereka memotivasiku dan memberi semangat kepadaku. Seorang guruku bahkan menyarankan agar aku belajar menerima keadaan seperti itu dan menghabiskan waktuku dengan menulis saja. Akan tetapi, kepalaku bersikeras bahwa aku tidak menyukai keheningan seperti ini.
Keluarga Pendeta Saya-Leaua memang memiliki tiga orang anak. Hanya saja anak yang pertama sedang berkuliah di UKSW, sementara dua orang lainnya sedang berada di Tobelo bersama dengan Bapak Pendeta Ahmad. Hal tersebut membuat suasana semakin sepi dan sunyi terutama pada siang hari.
Badanku terasa begitu lelah. Aku menggunakan waktuku hampir seharian untuk beristirahat. Aku keluar kamar hanya untuk makan sambil bercakap-cakap dengan Ibu Pendeta.
Read More

Desa Pediwang

Day 2
27 Mei 2016

Suasana di sekitar bandara Kuabang sangat sunyi dan sepi. Sekeliling bandara hanya terdapat ilalang. Kami dijemput oleh Om Donny. Di sebelah kanan jalan menuju kota Tobelo terlihat pantai. Aroma laut tercium dari kejauhan.
Tempat saya akan melakukan CP 1 adalah GMIH Lahairoi yang berada di tepi jalan. Kami pun berhenti di tepi jalan ketika mobil melintasi gedung gereja. Akhirnya, saya pun diturunkan di gereja tersebut sementara mobil Om Donny beserta dengan Helda dan Alfa melanjutkan perjalanan ke kota Tobelo, tepatnya ke kantor sinode GMIH.
GMIH Lahairoi Pediwang
Jantung saya mulai berdegup kencang. Ketika berpisah dengan teman-teman, ketika itu pula saya seperti disadarkan bahwa saya telah berada di awal perjalanan dan petualangan saya di Kao ini, sendirian.
“Kamu boleh meletakkan koper di sini.” Ujar Bu Pendeta yang memiliki nama Anita Saya-Leaua. Saya menyeret koper saya ke dalam kamar yang dimaksud oleh Bu Anita.
“Setelah ini ada pemakaman di laut. Kalau adik mau ikut boleh.”
‘Pemakaman di laut? Boleh juga tuh!’ dalam benakku aku membayangkan sebuah tradisi pemakaman yang menguburkan mayat di laut lepas.
Segera setelah meletakkan koper, kubuka koper itu dan kuambil pakaian yang ada lalu menuju kamar mandi. Bersiap-siap menuju pemakaman bahkan sebelum aku sempat beristirahat.
Ternyata aku salah paham! Aku mengira bahwa pemakaman diadakan di atas laut. Ternyata yang dimaksud dengan ‘di laut’ berarti dekat dengan laut karena laut kira-kira hanya berjarak dua puluh meter dari rumah duka. Tenda dipasang di halaman rumah duka. Telah banyak jemaat yang hadir. Keluarga yang berduka duduk di dalam ruang tamu rumah.
Aku melihat beberapa orang maju dan memasukkan uang persembahan sebelum ibadah dimulai. Akhirnya aku pun mengikuti orang-orang tersebut dengan memasukkan pula uang persembahanku. Beberapa orang memperhatikanku, sang orang asing. Sementara ada teman-teman yang belum berangkat dari Jakarta, aku sudah hadir di tengah jemaat GMIH Lahairoi.
Read More

A Journey in Pediwang

Day 1
26 Mei 2016

Hanya tinggal beberapa jam menuju keberangkatan ke Manado. Saya masih bersiap-siap, bahkan masih mencari beberapa perlengkapan yang saya rasa saya butuhkan di sana nantinya.
‘Ugh, berat sekali.’ Saya bergumam ketika berusaha menyeret keluar koper yang akan saya bawa. ‘Ini sih sudah lebih dari 15 kilo.
Ada sedikit rasa khawatir timbul dalam hati saya karena load yang disediakan oleh Wings Air, yang akan saya dan dua orang teman lainnya tumpangi dari Manado menuju Kuabang, hanya 10 kilogram saja. Tentu untuk bagasi yang overload akan dikenakan sanksi. Dan itu berarti uang saya yang terbatas akan semakin dipangkas.
Ketika saya sedang mencari taksi online menuju Stasiun Gambir, hujan turun. Saya merasa  begitu kesal. Selain karena tarif taksi akan naik drastis, barang-barang saya juga bisa basah. Saya membutuhkan kira-kira lima belas menit hingga taksi tersebut menjemput saya ke kos.
Badan saya sudah gemetar karena saya belum makan nasi dari pagi hari. Timbul dalam benak saya untuk mampir di warung makan yang ada di stasiun nantinya. Akan tetapi, melihat perjalanan menuju stasiun yang begitu macet, saya mengurungkan niat saya tersebut. Saya sangat takut tidak dapat mengejar waktu menuju bandara. Ketika saya tiba di shelter Damri yang ada di stasiun, sebuah Damri baru saja berangkat menuju bandara.
‘Berarti saya harus menunggu lagi.’
Saya membayarkan ongkos taksi dan menyeret koper saya sebisa mungkin ke dalam bagasi Damri.
“Terminal berapa?” tanya petugas Damri.
“Saya tidak tahu.”
“Maskapai apa?”
“Garuda?”
“Di Terminal 2F ya.”

Saya mengangguk-angguk saja. “Sudah mau berangkat belum, Pak? Saya mau ke dalam dulu sebentar.”
“Belum mau berangkat. Silakan saja. Jangan lama-lama.”
Dengan setengah berlari saya masuk ke stasiun dan mencari warung makan. Sebentar saja saya sudah kembali ke shelter Damri.
“Di dalam boleh makan nggak, Pak?” tanya saya lagi kepada petugas.
“Boleh saja.”
Saya menghabiskan makan siang di dalam bus sambil berharap tidak terlambat tiba di bandara. Ini adalah pertama kalinya saya terbang menggunakan maskapai Garuda Airlines. Sungguh saya berterima kasih kepada GKI Kayu Putih yang telah mengasuh saya dua semester belakangan ini. GKI Kayu Putih pula yang membiayai tiket saya ke Tobelo.
Saya terbangun dari tidur saya ketika bus sudah memasuki wilayah bandara Soekarno-Hatta. Ternyata terminal 2F masih cukup jauh dari terminal 1A/B/C. Selama ini saya hanya berlalu lalang di terminal 1. Saya masuk ke dalam terminal 2F dengan menyeret koper yang ternyata sangat berat. Saya mencari sosok Alfa, kakak kelas dari angkatan 2012 dan Helda, teman sekelas saya, yang juga akan melakukan Collegium Pastorale di Halmahera Utara.

Read More

Senja yang meremang dalam labirin...

Senja dalam labirin...

Kuinjakkan langkah pertamaku di bumi
Langkah-langkah selanjutnya masih terasa ringan
Namun, beban seperti menyusupi pundakku
membuatnya terasa berat, berat sekali
Setiap tapakku mewakili peristiwa hidupku
Segala perbuatan-Mu yang ajaib, Engkau,
yang menjadikan langit dan bumi
Memoriku melayang, mengingat segala pemeliharaan-Mu
Oh, betapa aku mencintai-Mu, Allah
yang nyata di dalam Anak-Mu

Read More

Allah Seorang Pelupa



Kosuke Koyama, teolog Asia yang terkenal itu, mengatakan dalam bukunya,
to forgive is to forget. Mengampuni berarti melupakan. Sering kali kita mendengar,
I forgive, but I never forget. Bagi Koyama, mengampuni tetapi tidak melupakan itu bukan
mengampuni.
Read More

Gereja mencari jawab atau malah perlu dipertanyakan?

Ibadah di salah satu gereja besar di Jakarta



Sebut saja, Gereja A, sebuah gereja tradisional, gereja besar. Akan tetapi, akarnya semakin tua dan mungkin memerlukan pencangkokan ulang, atau apapun yang membuatnya ‘muda’ kembali.
Gereja B, gereja lokal yang sedang bertumbuh. Akarnya sedang menancap di hati anak-anak muda ibukota, bahkan mungkin di hati siapa saja yang menginjakkan kaki di sana dan kembali lagi karena ia rindu.

Read More