AnakkonKi do hamoraon di Ahu, ninna Debata

pict by Sarawut Intarob

Sumringah
Begitu semula senyum itu
Anak dan Boru ni Raja tersemat di antara namanya
Embara Habatahon mengalir deras
Menyatu dengan darahnya

Dari permulaan ia merangkak
Hingga berdikari kini
Telinganya selalu dibisikkan
Anakkonkhi do hamoraon di ahu.”
“Anakku adalah harta kekayaanku.”
Di meja makan, di antara kudapan-kudapan nikmat
Kalimat itu disenandungkan merdu
Dari atas mimbar, di antara ayat-ayat kitab suci
Kalimat itu digaungkan


Anakku adalah harta kekayaanku
Anakku adalah harta kekayaanku
Hamoraon, hagabeon, hasangapon
Kekayaan, keturunan, kehormatan
Tiga mantra yang konon adalah
Sumber bahagia para raja
Raja-raja Batak

Siapa yang tak ingin bahagia?
Semua orang berlomba menjadi bahagia
Semua orang dari semua kalangan
Termasuk para petinggi gereja
Terutama para petinggi gereja

Dalam pacuan kebahagiaan
Suara orangtua tak memiliki makna
Hilang di antara jutaan derap langkah
Yang tergopoh dan tergesa
Mengejar bahagia
Uang, jabatan
Uang, jabatan

“Anakku bukan lagi hartaku!”
Seru si orangtua 
 
para petinggi gereja itu –
Lantas kembali mengejar bahagianya

Suara itu tak digaungkan melalui
Mimbar rumah Allah
Tetapi ia bergema, pelan, hampir tak terdengar
Dari gelak tawa penjaga ojek payung
Bermain di genangan air – tertawa
Dengan sorot mata ceria –
Seakan tiada masalah

Aku mendengarnya
Dari hembusan napas tubuh kecil
Yang terbungkus ondel-ondel
Terengah-engah berjalan
Berputar-putar menahan beban
Di antara jalanan yang kasar berbatu
Kakinya tak beralas, Tuan
Demi sesuap makan

Aku mendengarnya
Uang, jabatan, Sang Anak dilupakan
Apakah anak-anak Allah ini
bukan kekayaan bagi gereja itu sendiri?
Bukankah ondel-ondel cilik
Pemilik kaki tanpa alas itu
adalah harta sorgawi,
kepunyaan Allah sendiri?

NG
Matraman Dalam II, 23 Maret 2017
Location: Menteng, Central Jakarta City, Jakarta, Indonesia

0 comments:

Post a Comment