Resiko Seorang Futuris

Kata mereka, perkataan adalah doa.
Bukankah tulisan sama dengan perkataan yang diucapkan seseorang melalui tangan?
Jika begitu, maka tulisan pun adalah sebuah doa.
Hati-hati akan apa yang kau tulis.
<3


Sinar mentari menyelip masuk ke kamar penginapanku. Aku menggeliat berusaha membuka kedua mata. Kulirik jam dinding yang tergantung di tembok di hadapanku. Masih pagi sekali untuk sinar matahari yang terik. Aku bangkit dari tempat tidur dan membuka tirai jendela. Sinar matahari terbias oleh air danau yang tenang, membuatnya terlihat berkilauan. Kurapatkan cardigan dan melangkah ke beranda. Belum ada seorang pun yang memunculkan diri.
Kami –aku dan teman sepelayanan lainnya- sedang mengikuti sebuah pelatihan menulis yang diselenggarakan oleh Komite Penulis Kristen. Pesertanya berasal dari seluruh penjuru dunia. Kali ini lokasi pelatihan berada di tepi danau Blagdon yang berada di dalam hutan, terletak di Bristol, England. Layanan kamar segera menyediakan green tea hangat dan sepiring panekuk.
Ah, betapa damainya.
Aku tak mengenakan syal ataupun sarung tangan untuk menghangatkan badanku. Hanya sebuah sweater rajutan yang melekat di tubuhku. Aku sengaja membiarkan semilir angina yang sejuk menusuk tulangku. Udara seperti ini tak kutemukan di tempat asalku, Indonesia.
Aku menghirup teh hangat itu untuk kesekian kali. Mataku memandang jauh menembus hutan seperti sinar matahari yang merebak melalui celah-celah pohon.
Betapa bersyukurnya aku untuk apa yang kualami sepanjang hidupku ini. Betapa besarnya anugerah yang dicurahkan ke atasku. Aku mengilas kembali segala kejadian yang telah Dia rajut, benang-benang merah pencobaan, putihnya pengharapan, hitamnya dukacita, hingga hijau yang membawa rasa tenang dalam kedamaian, telah dirajut-Nya menjadi sebuah mahakarya yang luar biasa.
Ketika meluluskan gelar sarjanaku beberapa tahun yang lalu, aku bisa mengabadikan pelantikan wisudaku bersama Ayah, Ibu, dan ketiga adikku. Jangan lupakan segala penyertaan-Nya juga pemeliharaan-Nya sejak aku meninggalkan rumah hingga detik ini. Ia membuka jalan untuk segala kerinduanku. Ia yang selalu menarikku untuk bangkit dari keterpurukan. Dia yang selalu menjadi Penopangku.
Tuhan menuntunku hingga aku bisa meraih beasiswa selama kau sekolah. Dia membimbingku dalam setiap praktik, seminar, pembicaraan, renungan, khotbah, dan hal lainnya. Dia yang menjadi Inspirator pribadiku hingga aku bisa menerbitkan buku-bukuku. Dia yang membuka tingkap-tingkap langit untuk mencurahkan hujan berkat atasku. Dia membukakan pintu hingga aku meraih gelar master di Boston. Dia yang mengajariku untuk berbicara seperti seorang guru dan mendengarkan seperti seorang murid.
Tuhan menunjukkan mengapa aku harus menjadi suri tauladan. Ia memberkatiku di tiap pelayananku. Ia memberkati tiap orang yang mendengarkanku. Ia memberkati keluarga dan sahabatku. Ia memberkati jemaatku. Ia memberkati tempat manapun yang kudatangi.
Rumah dinasku tidaklah besar. Bukanlah rumah-rumah yang diimpikan sebagian besar orang. Rumahku sederhana, namun segala yang kuinginkan dan kubutuhkan ada di sana. Rumah sederhana dengan pekarangan juga pepohonan di halaman belakangnya. Rumah sederhana yang penuh kedamaian, dengan aura penuh kasih sebagai udaranya. Rumah kecil dengan sebuah radio antik yang berkumandang setiap pagi sebelum matahari menampakkan diri. Rumah yang selalu memiliki pohon terang setiap bulan Desember. Rumah yang memiliki rak baca lebih banyak daripada tempat untuk duduk. Rumah sederhana itu segalanya bagiku.
Ah ya, aku lupa, sebuah piano klasik dengan desain minimalis elektrik terletak di sudut ruang tamu. Di sebelah piano itu terdapat keranjang yang berisi patirtur-patirtur not dari sebuah lagu yang saat ini sedang kukerjakan.
Pernahkah terbayang memiliki berkat begitu banyak?
Kehidupanku sungguh sempurna. Bukan jumlah harta yang menjadi faktor penentu kebahagiaan, namun intensitasmu untuk menghitung berkat yang entah sadar atau tidak, telah kau terima.
Belahan jiwaku, dia sedang berada di kantornya saat ini. Aku mencintainya dan ia mencintaiku. Bagiku hal itu sudah lebih dari segalanya. Kami sedang menunggu kedatangan sang buah hati. Betapa bersyukurnya dan beruntungnya aku dipertemukan dengan sosok sejati yang telah sekian lama aku cari.
Ah, betapa baiknya Tuhan itu.
Aku memanggil-Nya, Ia mendengarkanku. Aku menyampaikan permohonanku, Ia mengabulkannya. Aku mencintai-Nya, namun sebelum aku ada di dunia, Ia sudah lebih dulu mengasihiku. How lucky I am to have such an amazing God.
Aku menghirup udara untuk terakhir kalinya sebelum aku bangkit dari tempat duduk yang ada di teras dan masuk kembali ke dalam penginapan. Bibirku tak berhenti tersenyum setiap kali aku menghitung berkatku. Kurasa itu cara yang manjur untuk berbahagia.

Sepertinya yang lain perlu tahu tentang hal ini. Sepertinya aku perlu menuliskannya…

0 comments:

Post a Comment