Sepak Terjang Kehidupan

Jalan hidup memang tak selalu mulus, tetapi aku tak gentar, tangan-Nya menopangku :)

Jalan itu berkelok di sana sini, banyak tikungan, tanjakan dan turunan curam. Jalan itu sama sekali tidak rata. Bahkan mungkin banyak orang yang lebih memilih menyerah ketimbang terus melanjutkan perjalanan yang belum tentu berakhir bahagia ini. Kini aku hampir kehabisan energy, bahan bakarku sudah mulai kering.
Aku mulai memperlambat langkahku, melangkah tertatih, melangkah setapka demi setapak. Berhenti sejenak untuk menikmati tarikan napas yang aku tak tahu berapa banyak lagikah yang tersisa. Pelan-pelan aku menegakkan tubuhku, menyiapkan diri untuk kembali melanjutkan perjalananku.
Perempuan itu menangis tersedu. Aku memalingkan wajahku ke arahnya, mencoba menyelidiki apa yang sedang menimpanya. Suara tangis itu tertahan, menahan sakit dan perihnya akan cobaan yang sedang menampar keras wajahnya yang putih bersih itu. Kutanyakan mengapa, oh, ia harus melihat sang Ayah berjuang keras untuk memperjuangkan hidup. Dengan segala penyakit yang menggerogoti tubuhnya, mungkin dalam jiwa terdalam yang ada di balik tubuh itu, sedang dipanjatkan berkat-berkat bagi anak emas, satu-satunya kepunyaannya.
Aku tertegun. Aku memegang pundaknya dan kembali mencoba melanjutkan kembali perjalananku ini. Namun, sambil terus berjalan, hatiku merenung, merefleksikan apa yang kupastikan itu sedikit demi sedikit. Ketika aku kembali menolehkan pandanganku, kali ini aku melihat seorang gadis yang berjalan meraba-raba, yang berulang kali tersandung, berjalan seorang diri, tanpa merasa rendah diri.
Kali  ini aku kembali memberanikan diri untuk mengikutinya dan berusaha mengenal dirinya lebih jauh. Ketika aku sudah mulai berani mendekatinya, tentu kutanyakan, apa yang ada di dalam pikiranku.
Bagaimana bisa? Bagaimana caranya ia bisa terus berjalan sementara ia tak tahu apa yang ada di hadapannya?
 Gadis itu menceritakan apa yang dipikirkannya kepadaku. Dengan keistimewaannya, ia belajar untuk menjadi lebih kuat dalam berjalan di tanah yang jelek dan tidak rata ini. Aku tertegun. Batinku menitikkan tetes air mata.
Bagaimana aku masih bisa bersungut sementara banyak yang lebih terjepit di luar sana namun masih memiliki api semangat untuk hidup?
Kini semua tak sama lagi. Cara berpikir itu tak sama lagi.
Ah, aku bersyukur, maka aku tahu, aku masih beruntung…

0 comments:

Post a Comment