Sosok ini lebih dari sekadar dosen.
He is an exceptional inspiration! Aku benar-benar bersyukur memiliki kesempatan untuk bertemu dengan beliau dalam pergumulan dan perjuanganku mendalami ilmu tentang Yang Ilahi, yang tak berdasar dan tak berujung.
Di suatu hari menjelang akhir November, seluruh mahasiswa angkatan 2014 yang akan menulis proyek karyatama berkumpul dan bertemu dengan para dosen serta staf akademik. Sejak memasuki tahun pertama, kami memang sudah diwanti-wanti jika Jakarta Theological Seminary (JTS) tidak lagi menggunakan sistem penulisan skripsi, melainkan karyatama. Namun, hingga menjelang semester terakhir, definisi karyatama itu sendiri tampaknya masih "abu-abu." Bahkan di antara teman-teman sekelas (Barbarian'2014-nama angkatan) tersebar satu pernyataan yang menjadi hiburan dengan sedikit sarkas.
"Tuhan saja tidak tahu apa itu karyatama."
Maka, sebagai orang-orang beriman, kami dikumpulkan untuk bersekutu dan berdoa (lho). Dalam pertemuan itu kami membahas teknik penulisan dan pencetakan karyatama. Makhluk asing bernama karyatama ini dapat berbentuk makalah akademis dengan jumlah kata sekitar 10000 hingga 12000 kata. Dapat pula berbentuk non-akademis disertai makalah dengan jumlah kata sekitar 5000 hingga 6000 kata, seperti tarian, tata ibadah, nyanyian, buku ajar, kurikulum pendidikan, dan stop di situ.
Sebagai seorang yang sangat
secretive, pantang sebenarnya bagiku untuk menyebutkan bentuk yang kuinginkan nantinya. Jika harus jujur, aku bahkan belum memiliki bayangan akan menciptakan apa. Aku masih ingat dengan jelas proses yang terjadi saat itu. Bp. Simon Rachmadi mengatakan bahwa sebisa mungkin mahasiswa yang memilih karyatama non-akademis akan difasilitasi oleh kampus. Misalnya, seorang teman memutuskan untuk menari, maka kampus akan mencari pelatih (
it turned out to be "penguji") untuk mempersiapkan dan membantu mahasiswa menyusun karyatamanya.
Dalam hatiku, aku merasa tidak mungkin kampus dapat memfasilitasi 30 orang mahasiswa dengan segala minat dan bakat mereka. Lalu, kuputuskan untuk maju karena kegelisahanku dengan jaminan yang tampak utopis itu.
"Bapak, bagaimana kampus dapat memfasilitasi begitu banyak minat mahasiswa? Apakah hal itu dimungkinkan?"
Lalu beliau kembali bertanya, "Novri, misalnya, apa yang kamu rencanakan untuk karyatama?"
Terpaksa aku menyebut kerinduanku itu. Meskipun, saat itu aku sendiri belum yakin dengan keputusanku.
"Saya ingin menulis novel. Saat ini yang ada dalam pikiran saya, ya, novel filsafatnya Jostein Gaarder,
Dunia Sophie, dan lain-lain."
Bp. Simon Rachmadi tentu menjamin bahwa aku dapat berkarya sekreatif mungkin dan tentunya kampus pun akan memfasilitasi. Aku duduk dan saat itu rektorku tersayang, Bp. Yusak Soleiman mengatakan, kalau aku hanya memiliki waktu tiga bulan untuk menulis dan ada baiknya aku menulis sesuatu yang lebih pendek dari novel. Aku menyimpan saran tersebut di dalam hati. Aku pun ragu aku dapat menulis novel dan makalah sementara harus mengikuti kuliah 12 SKS dan segala tugas lainnya.
Lalu, sosok Stephen Suleeman berdiri di depan dan mengatakan sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidup. "Kampus ini telah banyak melahirkan sastrawan/ti Indonesia. Sebut saja, Marianne Katoppo, dan masih banyak lainnya. Mungkin saja Novriana adalah salah satu sastrawati yang akan lahir dari STT Jakarta. Saya senang sekali dengan bentuk karyatama ini. Maka harapan saya, kampus ini dapat memfasilitasi dan merawat talenta seperti ini dan tidak melewatkannya begitu saja."
You believed in me when I could not, Sir, and I really appreciated it from the bottom of my heart.
Mungkin jika Bapak tidak mengatakan kalimat tersebut, yang mungkin untuk beberapa orang tidak terlalu signifikan, maka karyatamaku "Terperangkap" itu tidak akan lahir. Aku juga tidak akan lupa ekspresi kecewa Bapak karena tidak sempat hadir di sidang karyatamaku meski sudah berjanji. Atau bagaimana Bapak mau karyatamaku sampai di tangan Ayu Utami (hahaha).
Atau bagaimana Bapak menyemangatiku ketika aku akan mengikuti YATRA di Hong Kong. Aku juga tidak paham mengapa beberapa mahasiswa tidak menyukai Bapak. Atau mengapa mereka tidak dapat menghargai waktu yang telah susah payah Bapak luangkan dari proses dialisis lalu harus mengajar ke kampus. Aku tidak tahu alasan mereka dan sejujurnya tidak terlalu peduli.
Yang paling penting adalah aku sangat bersyukur dapat diajar oleh Bapak selama prosesku di STT Jakarta, baik dalam kelas maupun segala pendampingan untuk masalah-masalahku di CP I dan II. Mata kuliah Bapak sebenarnya yang benar-benar kami perlukan dan praktikkan ketika kami kembali ke lapangan. Sehat selalu ya, Pak. Lihat nanti muridmu ini menjadi 'orang.'
I adore you, Sir! 💗
Jakarta, 6 Oktober 2018
Sebuah catatan perjumpaan
NH.